Rabu, 19 Januari 2011

“WILL TO POWER“ NIETZSCHE




"Yang penting bukanlah kehidupan kekal (das ewige Leben), melainkan kekal-nya 'yang menghidupkan' (die ewige Lebendigkeit)! " Nietzsche



Friedrich Nietzsche dilahirkan di kota Röcken, di wilayah Sachsen. Orang tuanya adalah pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) dan istrinya Franziska, nama lajang Oehler (1826-1897). Ia diberi nama untuk menghormati kaisar Prusia Friedrich Wilhelm IV yang memiliki tanggal lahir yang sama. Adik perempuannya Elisabeth dilahirkan pada 1846. Setelah kematian ayahnya pada 1849 dan adik laki-lakinya Ludwig Joseph (1848-1850) keluarga ini pindah ke Naumburg dekat Saale.

Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan). Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme [1] (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).
Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Künstlerphilosoph) dan banyak mengilhami pelukis moderen Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk me-transformasi-kan tragedi hidup.

Nietzsche mendobrak konstruksi sosial yang telah tertanam di Eropa selama berabad-abad, khususnya tradisi Judeo-Christian yang berkembang selama Abad Pertengahan dan Rasionalisme yang berkembang pasca Aufklarung.

Bagi Nietzsche, moralitas dan akal adalah suatu produk jadi-jadian manusia yang bersumber dari kecemasan manusia itu sendiri. Nietzsche mengatakan bahwa sebenarnya sesuatu yang fundamental dalam diri manusia adalah Hasrat, dalam hal ini dia merujuk pada Hasrat untuk Berkuasa (the will to power). Kekuasaan dan kekuatan adalah eksitensi hasrat manusia yang sebenarnya.

Hampir dalam semua karya-karya Nietzsche, dia menjelaskan panjang lebar (kebanyakan dengan bentuk aforisme) tentang Hasrat untuk Berkuasa.
Nietzsche mengangkat manusia setinggi-tingginya, lepas dari moralitas dan akalnya, dan menempatkan hasrat manusia (hasrat berkuasa) sebagai dorongan utama hidup manusia.
Nietzsche menolak moralitas agama dan akal yang menempatkan manusia dalam bentuk Moralitas Budak. Yang terpenting dan terutama bagi manusia adalah mewujudkan Moralitas Tuan. Manusia, bagi Nietzsche, harus disadarkan bahwa mereka adalah makhluk yang bebas dan merdeka. Bebas dari segala produk nilai-nilai yang berasal dari luar, dari agama dan Tuhan.
Tidak ada nilai-nilai yang berasal dari Tuhan 1. Manusia yang bermoral Tuan adalah manusia yang menentukan nilai-nilainya sendiri. Manusia sendirilah yang mesti bertanggungjawab atas nilai dan kebernilaian hidupnya. Hasratlah yang menjadi patokan dalam penentuan nilai itu. Nilai mana yang akan dipilih sangat tergantung pada hasrat manusia itu. Kekuatan manusia yang menentukan semua itu. Human, All Too Human, kata Nietzsche.
Manusia yang ideal adalah manusia yang berhasrat untuk berkuasa. Manusia yang karena hasratnya untuk berkuasa membuat dia membentuk Moralitas Tuan dan bukan moralitas budak. Itulah sebabnya Nietzsche memperkenalkan jenis manusia seperti ini : UBERMENSCH.
“Dead are all the Gods : Now do we desire the Overman to live.” Let this be our final will at the great noontide!
(Nietzsche : Thus Spoke Zarathustra, Chapter XXII The Bestowing Virtue, section 3)
Ubermensch adalah manusia-manusia yang bermoral Tuan, dan memiliki hasrat untuk menguasai dunianya serta tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia. Inilah produk manusia ideal menurut Nietzsche.
Konstruksi hasrat Nietzsche dimulai dari penghancuran atas segala bentuk moralitas agama yang justru membuat manusia bermoral budak. Nietsche menihilkan segala kemapanan itu, dan membangun “manusia ideal” dari reruntuhan kehancuran moralitas tersebut. Apa yang bermoral adalah apa yang memiliki hasrat berkuasa, karena dari situ akan membentuk moralitas yang baru (Tuan) dan menjadikan manusia ideal (Ubermensch/Overman) yang menguasai dunia.
I want to teach men the sense of their existence, which is the Overman, the lightning out of the dark cloud—man.
(Nietzsche : Thus Spoke Zarathustra, Prologue, section 8


Will to power ini merupakan konsep terpenting di dalam filsafat Nietzsche. Ia mengembangkan konsep ini dari dua sumber utama: Schopenhauer dan kehidupan Yunani kuno. Schopenhauer mengadopsinya dari gagasan timur dan berkesimpulan bahwa bahwa alam semesta dikendalikan oleh suatu kehendak buta. Nietzsche mengenali adanya kekuatan di dalam gagasan ini, dan menerapkannya dalam kaitannya dengan kemanusiaan. Ketika Nietzsche sedang melakukan studi terhadap gagasan2 Yunani kuno, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yg menjadi pendorong di dalam peradaban mereka semata-mata adalah bagaimana mencari kekuasaan, dan bukan untuk mencari sesuatu yg lebih berguna atau yg memberikan manfaat segera.Nietzsche menyimpulkan bahwa kemanusiaan didorong oleh suatu Kehendak untuk Berkuasa (Will to Power). Semua impuls tindakan kita berasal dari kehendak ini. Seringkali kehendak untuk berkuasa ini di ubah dari ekspresinya yg semula, atau bahkan dialihkan ke bentuk lain, tapi tidak dapat dihindari semua itu selalu bermata air di tempat yg sama. Ajaran Kristen, Islam, Yahudi beragama mengkhotbahkan sesuatu yg tampaknya sangat bertentangan dengan Will to Power, melalui gagasan-gagasannya akan kerendahan hati, cinta antar saudara, dan kewelas asian. Tetapi, fakta yg sebenarnya memperlihatkan bahwa hal ini tak lebih hanyalah suatu penyamaran yg cerdik dari Will to Power. Ajaran Kristiani sendiri dan juga Islam, tentu saja adalah suatu agama yg dilahirkan di tengah2 perbudakan di zaman Romawi, dan sama sekali tak bisa membebaskan dirinya dari mentalitas budak. Ini tentu saja adalah suatu bentuk Will to Power dari para budak, dan bukan dari mereka yg memiliki kuasa.Will to Power yg dicanangkan oleh Nietzsche terbukti merupakan suatu alat yg ampuh ketika di gunakan oleh Nietzsche untuk menganalisis motif umat manusia. Tindakan2 yg sebelumnya tampak mulia atau terhormat, kini tampak sebagai sesuatu yg dekaden bahkan memuakkan.

Will to Power kemudian menganalisa motivasi kehendak bebas manusia (kehendak berkuasa). Menurut Nietzsche, Will to Life (keinginan untuk hidup) ada karena adanya Will to Power (kehendak untuk berkuasa). Bukan sebaliknya seperti yangb digariskan Schopenhauer bahwa Will to Life ada karena adanya Will to Exist (keinginan untuk bertahan.) Doktrin ini laris berat sepanjang jaman karena manusia selalu membutuhkan ekstase untuk menggugah kesadaran dari perang antar bangsa yang berlangsung tanpa kenal waktu di seluruh penjuru dunia.

Dalam pandangan Nietzsche, hidup ini seluruhnya tentang kehidupan berkuasa, sedangkan manusia adalah kehendak untuk berkuasa itu sendiri.
Penjelasannya kira-kira begini: Nietzsche tidak menyetujui bahwa manusia adalah anugerah yang diberikan alam (seperti yang diyakini Charles Darwin), sebagaimana ia juga tidak sepakat bahwa manusia adalah bagian dari realitas penciptaan ilahiah. Menurut Nietzsche, untuk dapat hidup dengan penuh eksistensi dan vitalitas, manusia harus memperlakukan hidupnya sebagai kehendak untuk berkuasa.
Dengan itu, manusia akan memegang kendali penuh atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Manusia akan memiliki mentalitas tuan (berani, agung, dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambilnya), alihalih mentalitas budak (takut, lemah, dan cenderung berharap pada orang lain untuk memperoleh kebahagiaan).Penyangkalan dan pengasingan diri memberkahinya kemampuan untuk mengendalikan kemanusiaannya tetap terjaga (tentu saja Nietzsche seorang atheis-kehadiran Tuhan baginya merupakan distorsi terhadap totalitas kemanusiannya.
Kehendak berkuasa (The Will to Power) yang digagas Nietzsche bukan suatu provokasi politik karena ia bukan pemikir ataupun pelaku bidang itu. Meskipun gagasan-gagasan yang ditulisnya bersifat aforistik, tidak berarti bahwa Nietzsche mencita-citakan untuk melembagakan the Will to Power itu dalam apa yang disebut negara; justru sebaliknya, negara merupakan musuh besarnya karena dianggap menghambat kebebasan untuk merealisasi diri. Bagi Nietzsche, negara hanya merupakan kesatuan orang-orang yang hidupnya setengah-setengah. Negara, oleh karena itu, harus dipandang sebagai godaan yang harus dihindari agar tercapai jati diri. Alasannya, di samping dalam negara terdapat berbagai peraturan dan kewajiban moral yang membatasi warganya untuk bertindak atas dasar kehendak untuk berkuasa juga negara merupakan lahan yang subur untuk menurunkan warisan kebiasaan moral Kristen.
Penolakan Nietzsche terhadap negara dikarenakan hakikat dunia dalam pandangannya menunjuk kepada tiga hal: kehendak untuk berkuasa, hakikat hidup, dan hakikat terdalam dari yang ada (being). Ketiga hal tersebut merupakan segala-galanya. Baginya, kekuasaan politik, yang cenderung mengikat dengan segala peraturannya, lebih rendah dari pada kekuasaan ide filosofis, the will to power, yang berada dalam dunia ide dan pemikiran. Pada akhirnya prinsip will to power ini akan berpengaruh pada filsafat nihilisme. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia, tidak memiliki suatu tujuan . Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini : tidak ada bukti keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain.



3 komentar:

  1. terima kasih udah di share pemikiran Nietzsche, akhirnya saya bisa mendapat bahan dan referensi yang cukup untuk memenuhi tugas filsafat saya. U're very kind :)

    BalasHapus