Rabu, 19 Januari 2011

Multiculture dalam Memoar Istanbul


Sastra Timur tengah Terjemahan





Oleh:
Eunike Yoanita
120710071


Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga
Surabaya
2009

Orhan Pamuk dalam karyanya Istanbul, tidak hanya berkisah tentang peristiwa-peristiwa masa kecil yang dia alami selama hidupnya mengenai sebuah kota. Namun menceritakan mengenai multi culture yang mungkin saja belum pernah terlintas dalam pengalaman bacaan. Keintiman Pamuk dengan kota Istanbul tidak hanya sekedar kronologis cerita saja melainkan secara psikologis kota.
Kota harus dimaknai secara komprehensif, bukan hanya sebagai arena kontestasi ekonomi politik semata yang ujung-ujungnya berkubang kepada persoalan materi dan ukuran kelas-kelas kekayaan. Demi ”keselamatan” kota itu sendiri, kota harus menjadi tempat yang nyaman bagi penduduknya dan memikat orang-orang di luar dirinya.
Kota adalah ruang (space) materi sekaligus nonmateri bagi orang-orang yang menghuni di dalamnya. Ia bukan hanya seperangkat benda-benda (ornamen) dan properti-properti yang menandai kebudayaan serta geliat peradaban suatu tempat. Namun, kota juga merupakan suatu lanskap bagi imajinasi para penghuninya. Yaitu tempat di mana manusia di dalamnya bebas bermimpi tentang nuansa sebuah kota. Nuansa yang terbayang dari serangkaian peristiwa sejarah yang telah melekat dengannya. Sebuah kota juga tidak bisa dipisahkan dari emosi sejarah dan peradaban bangsanya pada masa lalu.
Tentang pergulatan dan makna sebuah kota, Orhan Pamuk melalui memoar Istanbul: Kenangan Sebuah Kota menyajikan kepada kita dengan sangat menawan. Makna kota di tangan Pamuk sebagai seorang penulis jelas berbeda pendekatannya dibandingkan dengan seorang pelukis, pebisnis, ataupun arsitek. Namun yang pasti, Pamuk menyerukan hampir di semua isi memoar bahwa sebuah kota harus diziarahi hingga ke detail akar sejarahnya, bahkan sampai ke denyutnya yang paling dalam.
Kemurungan kota
Istanbul bukan hanya prasasti atau bangunan-bangunan tua bekas Khalifah Utsmaniyah ataupun konstruksi modern ala Eropa yang bisa disaksikan sekarang. Namun, ada sesuatu di balik semua itu, yaitu kemurungan atau kemuraman (huzun). Di tengah ketegaran dan eksotisme Turki modern saat ini, kemurungan tetap terbayang di Istanbul. Karena itu, Pamuk mengkritik keras penulis-penulis Barat yang hanya memuja-muja Istanbul sebagai kota elegan dan eksotis (hal 362) tanpa menelisik kemuraman yang sudah berabad tertimbun di dalamnya.
Padahal, sejak Turki mengalami fase peralihan dari Khalifah Utsmaniyah (Ottoman) ke Turki Modern di bawah kepemimpinan Musthafa Kemal Attaturk pada tahun 1924, sejarah ”terbelah” antara Timur (Islam) dan Barat (Eropa). Pembelahan terjadi baik secara agama, budaya, ekonomi, maupun politik. Mulai era inilah Turki menjadi sebuah negara dan Istanbul sebagai pusat perlintasan Barat. Namun, keduanya gamang menatap masa depan. Berada pada pilihan untuk tetap merangkul kokoh tradisi khalifah atau berpaling ke Eropa sebagai lanskap peradaban baru Turki masa kini. Sejak fase itu Turki bergulat dengan masa depannya yang melankolik. Pergulatan ini ditangkap oleh Pamuk melalui riset khusus yang kemudian dituangkan ke dalam memoar ini.
Kemuraman tidak akan pernah terhapus dari ingatan penduduk Istanbul khususnya dan Turki pada umumnya. Kata itu telah menjadi roh dan emosi bagi kota kelahiran yang telah membesarkan dirinya. Pamuk dengan sangat bijak mencoba membangunkan dan menghidupkan kembali memori kolektif bangsanya agar melek terhadap sejarah melankolia Istanbul sebenarnya.
Memori kolektif sendiri pada awalnya berkembang dalam kajian sastra terutama bagi Jean-Paul Sartre dengan istilah ”engaged literature” (Perancis: littérature engagée). Kini berkembang hingga ke persoalan kebangsaan. Menurut Sartre: ”seseorang hanya dapat dikatakan ada jika dia memiliki kesadaran untuk terlibat dalam (sejarah) masalah masyarakatnya”. Memori kolektif adalah langkah penting menuju penerimaan diri sendiri dan orang lain.
Sisi lain, Yvette Johnson, seorang peneliti sejarah etnik Afro-Jerman, mengatakan bahwa kesadaran akan asal-usul dan nenek moyang merupakan dasar bagi eksistensi sebuah komunal masyarakat. Agar etnik Afro-Jerman tetap eksis dan memiliki masa depan baik, demikian Yvette, mereka membutuhkan masa lampau, yaitu sebuah kesadaran historis. ”Mereka perlu mengingat narasi hitamnya dalam sejarah bangsa Jerman,” ungkap Yvette.
Dengan demikian, kesadaran sejarah akan melahirkan memori kolektif yang kuat. Dalam pandangan Adorno, ingatan kolektif akan penderitaan justru merupakan sebuah keharusan imperatif. Karena di saat seperti itulah, kesadaran dan spirit perjuangan yang diajarkan oleh masa silam sejarahnya semakin menemukan posisi. Dan Pamuk, melalui buku terbaru ini, menyajikan ingatan publik tentang Istanbul maupun orang-orangnya di masa silam, kini, sekaligus juga proyeksi masa depannya.
Demi menghidupkan kembali memori kolektif, Pamuk menuliskan ornamen kota, lanskap, bangunan tua, pelabuhan, sungai, lorong-lorong bisu dengan mitos, sejarah, bahkan kisah asmara. Tidak hanya cukup sampai di situ, sengketa dan tragedi kehidupan berdarah serta misteri-misteri runyam lainnya ia paparkan.
Dalam buku ini, sejak awal Pamuk menyinggung tentang kemiskinan dan masyarakat tersisih di pinggiran Istanbul. Sebagaimana pengakuannya, ”Kota tempat saya dilahirkan ini lebih miskin, lebih kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi saya, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan” (hal 7). Lanskap kemiskinan dengan penduduk yang kumuh itu diracik sedemikian memukau oleh Pamuk sehingga pembaca dapat merasakan kemuraman Istanbul masa silam.
Sebelum Pamuk mengetengahkan pendapat bahwa Istanbul merupakan kota yang paling berkesan sepanjang hidupnya, dia telah mengadakan penelusuran bagaimana para pengarang dan penyair terdahulu mengalami bagaimana Kota Istanbul hidup dalam karya maupun kehidupan pribadinya. Menurutnya, dalam karya maupun kehidupan keempat penulis tersebut Istanbul hadir dalam kenyataan yang melankolik. Sifat melankoli yang dirundung Istanbul setelah kota ini mengalami kemunduran dengan jatuhnya Kesultanan Usmani dan pada 1920-an dengan mengambil sistem republik dalam pemerintahan untuk mengelola Turki.
Jalur nasionalis inilah yang mula-mula mengubah, bukan hanya seluruh aspek budaya dan politik di Turki, tetapi secara lebih spesifik mengubah secara mendasar Istanbul yang pada abad ke-19 menjadi tujuan utama para pelancong-penulis Prancis untuk mencari akar-akar oriental. Perubahan di Istanbul dengan memilih jalur nasionalisme ini tidak menghendaki adanya perbedaan dalam bahasa, etnik, selera, dan secara umum tentunya sebuah bentuk kebudayaan. Nilai-nilai chauvimisme yang dengan sengaja diperbolehkan oleh rezim berkuasa telah mematikan perlahan-lahan keanekaragaman dalam berbahasa di Istambul dan tentunya ini mematikan kebudayaan yang pernah menawan seantero Asia maupun Eropa.
Dalam masa Kesultanan Usmani, Istanbul tempat tumbuh suburnya berbagai bahasa dari orang Rusia, Armenia, Albania, Yunani, Prancis, Inggris terutama daerah kekuasaan kesultanan. Setelah Republik Turki berdiri, terutama setelah kekalahan selama Perang Dunia I, sikap chauvinisme ini kian menguat dengan kehendak untuk mendirikan sebuah Turki yang tunggal. Dilematisnya, kehendak Turki yang tunggal secara politik menjadi mendua tatkala Turki berkeinginan untuk menjadi sekuler seperti Eropa. Kemenduaan ini menjadikan Turki dan secara khusus Istanbul membuat silang sengkarutnya identitas yang ingin dikenakan oleh warganya.
Dilematis dalam menentukan identitas inilah yang ditangkap keempat penulis yang disebutkan Orhan dan juga yang dialami Orhan Pamuk sendiri. Keinginan untuk menjadi Eropa dan keinginan untuk mencari identitas nasionalnya yang khas memerangkap mereka dalam sebuah situasi melankolik, murung. Situasi melankolik ini terpapar di seantero Kota Istanbul. Bagi Pamuk, kemurungan ini terlihat pada jalan-jalan, gang-gang sempit di komunitas warga miskin, pelabuhan, asap-asap kapal di pantai Bosphorus, kemiskinan yang merajalela, bangunan-bangunan lama peninggalan Kesultanan Usmani yang terbengkelai, kehidupan warga kaya yang berorientasi barat tetapi gagal dan justru kering secara spiritual. Ambivalensi yang merundung Istanbul terus-menerus semenjak jatuhnya Kesultanan Turki dan berdirinya Republik Turki ini secara serentak juga memengaruhi kehidupan Orhan Pamuk secara pribadi. Sepanjang halaman buku Istanbul, suasana melankoli membayang begitu pekat. Seolah Pamuk tidak memiliki satu titik pun untuk keluar dari perangkap melankoli yang terbentuk secara sosial dan politik dan seluruh penghuni Istanbul secara tidak sadar mengalaminya.
Apa yang Pamuk alami kala ia lahir dengan membandingkan situasi yang berkembang saat itu, kala ia masih bocah, kala remaja, dan kala perantara menjadi dewasa, tak lain adalah gambaran suasana melankolik. Ia menggambarkan dirinya seorang yang tidak pernah mengalami suasana riang dan penuh kegembiraan kecuali ketika ia mabuk-mabukan bersama teman sekolah menengahnya dan menggoda gadis-gadis seusianya dengan kendaraan mewah ayah-ayah mereka. Semenjak remaja pun ia tidak memiliki sikap yang demikian optimistis sebagaimana yang terangkum dalam kehidupan kakaknya yang ia gambarkan sebagai tertib dan terampil terutama dalam kaitannya dengan pelajaran matematika dan fisika. Dilematis dan ambivalensi antara kehidupan pribadi Pamuk dan suasana Kota Istanbul inilah yang menjadi dasar dari semangat novel-novel yang Orhan Pamuk tulis di kemudian hari. Suasana melankolik dan seakan tidak memiliki masa depan yang menghinggapi semua tokoh-tokoh novelnya dapat diperbandingkan dengan apa yang ia tuturkan dalam buku memornya ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar