Rabu, 19 Januari 2011

Sastra ‘Nasional’, Sastra Lokal, dan Kecenderungan Global


Ekologi Sastra Indonesia Kontemporer: Sastra ‘Nasional’, Sastra Lokal, dan Kecenderungan Global§


  1. Kecenderungan Global:
    1. Alfin Tofler menyebut kecenderungan global sebagai proses gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (pertanian) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian akan menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada modal, dan selanjutnya kepada penguasaan informasi (iptek).
    2. Cara pandang yang tak sepenuhnya benar: Banyak masyarakat memahami bahwa globalisasi akan membuat keadaan dunia menjadi seragam, menghapus identitas dan jati diri, tenggelamnya kebudayaan etnis dan lokalitas, munculnya/berkuasanya  kekuatan budaya besar-global.
    3. John Naisbitt dalam Global Paradox justru memperlihatkan sifat paradoks globalisasi. dalam bidang ekonomi, globalisasi justru ditandai oleh menggeliatnya perusahaan-perusahaan kecil dan menengah akibat terbukanya ‘sistem ekonomi global’. Semakin kita menjadi universal, tindakan kita menjadi semakin bersifat kesukuan.

  1. Kecenderungan Sastra Nasional:
    1. Berpuluh tahun sastra Indonesia terhegemoni oleh sastra yang memusat sebagai buah dari keinginan menciptakan character building dari sifat ke-Indonesia-an sebagai bentuk kesepakatan baru dalam membangun masyarakat sipil.
    2. Sastra Indonesia adalah sastra ‘Jakarta Sentris’

  1. Kecenderungan Lokal:
    1. Merebaknya penggunaan unsur lokal sejak tahun 70-an: ditampilkan dan sekaligus dipadukan dengan gagasan dan wawasan estetika baru.
    2. Unsur lokal hadir secara variatif:
-          ada yang mengutamakan unsur-unsur lokal di atas modernitas dengan semangat menonjolkan semangat ke-Indonesiaan atau kedaerahan
-          ada yang memanfaatkan unsur lokal semata-mata untuk memperkaya, memperdalam, dan mengintenskan karya-karyanya
-          ada juga yang menggunakan lokalitas agar karyanya lebih bermakna
    1. Penilaian:
-          Sutardji: munculnya kecenderungan kuat yang menggali akar tradisi merupakan tonggak pemisah antara perkembangan sastra sebelum 70-an dengan setelahnya. (dari merupakan bagian sastra dunia berbalik menyumbangkan sesuatu kepada sastra dunia).
-          Danarto: kecenderungan ke lokalitas sebagai gerakan sastra yang hendak kembali ke “sumber penciptaan”
-          A. Teeuw: cenderung melihat gejala kesusasteraan yang melokal sebagai tanda bangkitnya budaya kedaerahan.
-          Subagyo: Gerakan atavisme (budaya kedaerahan yang amat menonjol) seperti tampak pada konfigurasi spiritualitas bercorak Hindu dan Islam, yaitu mistisisme dan tasawuf
-          Manuaba: Ada tiga motif utama dari merebaknya lokalitas:
1.      unsur-unsur budaya lokal itu dimanfaatkan untuk keperluan inovasi dan pengucapan (Goenawan M, Sapardi Djoko D, Arifin C. Noor, Sutardji, Rendra, Putu W). Mereka tidak berpretensi kedaerahan, sekalipun sadar mengambil tradisi lokal.
2.      untuk memberikan corak yang khas kedaerahan (NH Dini, Umar Kayam, Tohari, Darmanto, Linus, Wisran Hadi, Ibrahim Sattah, Korrie LR, Subagyo, Romo Mangun). Mereka memanfaatkan tradisi dalam penciptaan  dengan menganggap lokalitas sebagai produk historis yang sulit diubah dan menjadi kekhasan dari tradisi daerah tertentu.
3.      untuk mengambil bentuk spiritualitasnya (Danarto, Emha, Kuntowijoyo, Gus Mus, Zawawi) 




§ Stimulasi untuk pengayaan materi kuliah Sastra Indonesia Kontemporer 09, disarikan dari berbagai sumber oleh Ki Puji Karyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar