Rabu, 19 Januari 2011

DEKONSTRUKSI



Dekonstruksi merupakan paham dalam dunia pemikiran dan filsafat.  Dalam banyak hal dekonstruksi dipahami berhadapan dengan strukturalisme dan modernisme.  Dalam teks yang berupa realitas (sejarah dan sosial) aplikasi dekonstruksi telah digunakan dalam wacana politik, sosial, seni, arsitektur, dan lain-lainnya.  Teks-teks yang mengandaikan pusat-pinggiran “dibongkar” habis-habisan.  Pada perkembangannya, dekonstruksi menjelma menjadi semacam cara baca atau teori pembacaan (a theory of  reading), baik dalam bidang kajian filsafat, sastra dan wacana-wacana lainnya. 
Dekonstruksi pertama kali dipelopori oleh Jacques Derrida, seorang pemikir berkebangsaan Perancis.  Ia diilhami oleh para pemikir Barat sebelumnya, diantaranya Nietzsche, Husserl, dan Heidegger.  Derrida mengambil struktur bahasa (langue dan parole) dan meradikalkan atau membongkar susunan struktur tersebut.  Terdapat tiga konsep strukural yang diradikalkan oleh Derrida, yaitu ciri arbitrer dari tanda (bahasa), konsep perbedaan dalam struktur bahasa dan ciri relasional dari totalitas bahasa  (Hardiman, dalam Ullumul Qur’an, 1994:8-9).  Dekonstruksi mengenai tanda tersebut berasal dari konsep linguistik Ferdinand de Saussure.  Derrida memang meradikalkan konsep dan teori Saussure itu.  Saussure mendefinisikan tanda sebagai satuan yang terdiri dari penanda dan petanda.  Hubungan di ataranya bersifat arbiter.  Artinya, sesuatu dapat menjadi tanda, apabila ada sistem tanda yang bersifat differensial.  Sebagaimana halnya penanda, petanda pun bersifat defferensial atau relasional  (Leitch, 1983:8).
Dekonstruksi menurut  Jacques Derrida dalam Of Grammatology (1977) adalah satu strategi intelektual dalam menghancurkan, meruntuhkan, membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur  (bahasa, ideologi, ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan) yang selama ini (dipaksa untuk) diterima sebagai satu ‘kebenaran’, sehingga tidak menyisakan ruang bagi pertanyaan, gugatan atau kritikan.  Struktur yang telah didekonstruksi itu kemudian didekonstruksi kembali untuk menghasilkan struktur-struktur baru yang lebih segar, lebih demokratis, lebih terbuka  (Pilliang, 2001:178).
Konsepsi itu bertolak dari linguistik struktural Saussure yang mengembangkan prinsip binary opposition  (oposisi biner) (Piliang, 2003: 137-138). Oposisi biner diambil dari sistem bangunan  bahasa.  Bahasa, menurut Saussure, adalah satu sistem tanda yang berfungsi melalui kode operasional oposisi biner.  Salah satunya adalah oposisi antara petanda dan penanda.  Oposisi biner lain yang penting bagi Saussure adalah sintagma dan paradigma.  Hal ini termanifestasikan dalam deret sintagmatik (kontinuitas/ kombinasi), yaitu hubungan linear antara elemen linguistik dalam sebuah kalimat, dan deret paradigmatik (seleksi/ substitusi), yaitu hubungan antara elemen-elemen dalam sebuah kalimat dan elemen-elemen lain secara sintaksis bertukar tempat  (Appignanesi dan Chris Garrat, 1999: 60; Noth, 1990:300).  Akibatnya, dekonstruksi Derrida menolak konsep tanda yang terbagi antara penanda dan petanda.  Pembagian yang tegas antara penanda dan petanda, keduanya merupakan substansi yang berdiri sendiri.  Sebagai gantinya, dekonstruksi menawarkan konsep “jejak” atau “trace  (Leitch, 1983: 9).  Dengan pengertian bahwa penanda dan petanda dalam sebuah bahasa atau tanda mempunyai hubungan yang arbitrer, yakni tidak ada alasan sebuah tanda atau bahasa menunjuk pada suatu makna tertentu.  Oleh karena itu, dekonstruksi menolak metafisika kehadiran.  Misalnya, sebuah tanda “tangan” hanya menunjuk pada makna “tangan” itu sendiri, tidak ada kehadran dalam segala kepenuhan dari arti kata itu.
Lebih lanjut dapat dijelaskan, bahwa suatu tanda mendapat maknanya karena berbeda dengan tanda-tanda lain.  Seperti juga relasi antara penanda dan petanda yang arbitrer, relasi antara komponen dalam system bahasa juga arbitrer.  Sehingga, jika suatu realitas adalah teks, totalitas dari suatu realitas adalah suatu relasi antara komponen yang berbeda-beda.
Bila ditarik lebih jauh lagi, membaca secara dekonstruksi berarti menemukan dan memunculkan kontradiksi yang secara bersamaan membalikkan dan menyingkirkan sistem evaluasi secara umum (masterful), yang asal-asalan (arbitrary) dan yang berpihak  Newton, 1991:112).  Di lain pihak, cara baca Derrida terhadap teks-teks diartikan antara lain dengan jalan membongkar sistem-sistem perlawanan-perlawanan utama yang tersembunyi di dalamnya (Sugiharto, 1996:45).  Penjabarannya, yang dilacak pertama-tama bukan penataan yang sadar (pengorganisasian rasional agar premis-premis, argumen dan kesimpulan saling terjalin rapi), melainkan tatanan teks yang tidak disadari, yang merupakan asumsi-asumsi tersembunyi di balik hal-hal yang tersurat.
Derrida berusaha menampilkan tekstualitas laten  di balik teks-teks.  Hal itu merujuk pada pendapat Derrida, bahwa di balik teks (filologis) yang terdapat bukanlah kekosongan melainkan sebuah teks suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang pesat dan referensinya tak jelas  (Derrida, 1982:230).  Adapun yang bisa dikenali dari teks adalah jejak atau bekas (trace) dari proses difference teks-teks sebelumnya.
Ide penting Derrida yang sangat berpengaruh yaitu radikalisasi konsep difference.  Konsep difference tidak hanya menentukan makna, tetapi juga realitas atau teks.  Difference berarti: to differ (membedakan) dan to defer (menunda) sehingga pemaknaan suatu realitas atau teks berlangsung dalam proses dengan “membedakan” sekaligus “menunda” makna yang diperolehnya  (Hardiman, dalam Ullumul Qur’an,1994:9; Norris, 1991:25).
Secara skematik, rekonstruksi strategi dekonstruksi Derrida dapat dirumuskan dalam tiga langkah.  Pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks seperti biasanya, hingga tampak peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik.  Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan  privilese (hak istimewa) secara terbalik.  Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang bisa dimasukkan ke dalam oposisi lama  (Sugiharto, 1996:46).
Sementara itu, lebih jauh Culler memaparkan mengenai konsep dekonstruksi.  Menurut Culler (1983:53) aktifitas dekonstruksi melibatkan beberapa gerakan yang menonjol, yaitu: (1) Seseorang dapat menunjukkan bahwa oposisi tertentu merupakan pemaksaan (imposisi) ideologis dan metafisik.  Hal itu dilakukan dengan cara membawa presuposisi-presuposisi (praduga-praduga) dan peranannya ke dalam sistem nilai-nilai metafisika - suatu tugas yang menuntut analisis ekstensif terhadap sejumlah teks -  serta dengan menunjukkan bagaimana sistem itu dihancurkan dalam teks-teks yang mengungkapkan dan bersandar padanya; (2)  Ia juga sekaligus mempertahankan oposisi itu dengan cara memakainya dalam argumen sendiri dan menerimanya kembali dengan suatu pembalikan yang memberinya status dan akibat yang berbeda. Ternyata skema tersebut sesuai dengan konsepsi Derrida, atau memang berasal dari Derrida.
Menurut Derrida  (dalam Culler, 1983:83) mendekonstruksikan suatu oposisi adalah membalikkan suatu hierarki.  Akan tetapi aktifitas itu baru pada tahap pertama.  Pada tahap berikutnya, pembalikan harus dilakukan terhadap keseluruhan yang didalamnya oposisi itu menjadi bagiannya.  Hanya dengan syarat itulah dekonstruksi dapat memberikan alat untuk menembus lapangan oposisi-oposisi yang dikritiknya yang juga merupakan lapangan kekuatan non-diskursif (di luar wacana).  Praktik dekonstruksi bekerja dalam batas-batas sistem tertentu, tetapi dengan tujuan menghancurkannya, melakukan semacam subversi.
Meski demikian, dekonstruksi tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sebelumnya, khususnya strukturalisme  (Faruk, dalam Jabrohim, 1994:153).  Hal itu karena dekonstruksi bukanlah suatu teori, ia tidak menawarkan suatu teori yang lebih baik mengenai kebenaran, melainkan bekerja dalam dan sekitar kerangka diskursif yang sudah ada, ia tidak menawarkan dasar (Culler, 1983:155).  Namun, dekonstruksi memberikan semacam alternatif pemikiran bahwa kebenaran tidak hanya didominasi oleh satu pihak, tidak ada penafsiran tunggal terhadap metaphor, dan masih ada “kebenaran” pada diskursif-diskursif lain.
Dekonstruksi juga merupakan penolakan terhadap logosentrisme.  Derrida mengartikannya sebagai “keinginan akan suatu pusat”  (Selden, 1991:88-89).  Ia memusatkan perhatiannya pada usaha yang terus menerus untuk menghancurkan dan meniadakan pemusatan  (decentering).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, dekonstruksi berusaha memperlihatkan ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya dari teks itu untuk menutup diri.  Dekonstruksi juga mau menumbangkan hierarki konseptual yang menstrukturkan sebuah teks dan menghidupkan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi yang telah membangun sebuah teks dan menghidupkan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi yang telah membangun sebuah teks, sehingga sebuah teks tidak lagi merupakan tatanan makna yang utuh.
Memang dekonstruksi dalam memandang atau “membaca” realitas atau teks lebih radikal daripada penafsiran biasa atau hermeneutika.  Akan tetapi, dekonstruksi di sini dapat digunakan bukan untuk menihilkan teks-tek lain, melainkan merupakan rekonstruksi konsep untuk memperoleh jalan keluar dari kebuntuan atau kestatisan sebuah konstruksi atau sistem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar