Rabu, 19 Januari 2011

Potret Feminisme dalam Poligami Dalam Novel “A Thousand Splendid Suns” Oleh: Khaled Hossaeni


Sastra Timur Tengah Terjemahan




Rayi Purikawati (1205
Eunike Yoanita (120710071)
Bangun Pratomo (120710156)
Nilawati Kushariani (120710347)

Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga
Surabaya
2009

A THOUSAND SPLENDID SUNS






A Thousand Splendid Sun adalah novel yang bercerita tentang perang di Afghanistan, khususnya ketika perang saudara berkecamuk di sana. Ceritanya berpusat di dua tokoh Mariam, dan Laila. Mariam adalah seorang anak hasil ‘kecelakaan’ antara ibunya yang bernama Nana dan majikannya yang bernama Jalil, untuk menghindari rasa malu oleh keluarga majikannya, mereka di ungsikan ke sebuah tempat yang terpencil yang jauh dari mana – mana, walaupun setiap hari kamis Jalil selalu datang untuk menjenguk dan membawakan makanan. Ditempat itulah Mariam besar, sampai suatu hari ia membandel coba jalan sendiri ke rumah Jalil, dan mendapati dirinya tidak diterima di sana. Saat Mariam kembali ke rumahnya, ia mendapati Nana mati bunuh diri. Akhirnya ia tinggal di rumah Jalil, dan terpaksa menikahi seseorang yang tidak ia ingini saat berumur 15 tahun.
Laila adalah seorang gadis muda, mempunyai seorang teman yang bernama Tariq, mereka dekat sekali. Pada saat perang saudara berkecamuk di Afghanistan, keluarga Tariq memutuskan untuk pindah ke Palestina, saat akan melepas Tariq ini lah Laila melepas kehormatannya. Singkat cerita keluarga Tariq pun pergi ke Palestina, kemudian selang beberapa minggu, keluarga Laila pun berencana hijrah ke Palestina, tapi gagal karena rumah mereka kena sasaran roket yang mengakibatkan Orang tua Laila tewas. Laila kemudian diselamatkan oleh Rasheed suami dari Mariam, yang diam – diam hendak menjadikan Laila istri kedua, ia membuat sebuah kebohongan bahwa Tariq telah meninggal di Palestina akibat terkena bom. Karena takut anaknya hasil hubungan Tariq dan dirinya tidak punya ayah, akhirnya Laila menerima tawaran Rasheed tanpa memberi tahu dia bahwa sedang mengandung.
Mariam yang hidupnya berantakan semenjak anak pertama mereka keguguran, kurang menerima Laila, apalagi dia sudah mengandung tak berapa lama Rasheed dan Laila menikah, tapi setelah beberapa bulan setelah kelahiran anak perempuannya, akhirnya Mariam pun luluh dan mau menerima Laila, bahkan ikut merawat anak perempuannya. Selang beberapa tahun, Laila kembali melahirkan, kali ini anaknya laki – laki, anak laki – laki ini segera menjadi anak kesayangan dari Rasheed , apapun permintaan dia di turuti.
Lalu kisahnya menjadi rumit ketika Tariq tiba – tiba datang. Laila yang merasa tertipu oleh Rasheed marah besar, sehingga terjadilah keributan yang menyebabkan Laila memukul Rasheed, tak terima oleh perlakuan istrinya, Rasheed lalu mencekik Laila, Mariam yang panik lalu mengambil sekop dari gudang dan memukul Rasheed, yang menyebabkan Rasheed meninggal. Mariam menyuruh Laila agar lari bersama Tariq dan anak – anaknya ke Pakistan, Mariam lah yang akan bertanggung jawab atas kematian Rasheed.
Di akhir cerita Mariam di hukum mati oleh pemerintah yang berkuasa, dan Laila beserta Tariq yang hidup di Palestina kembali ke Afghanistan.






























Analisis

Masalah feminisme ternyata masih merupakan problem yang melanda di setiap negara. Afghanistan contohnya menyimpan banyak misteri dalam pembagian keadilan terhadap kaum perempuan. Adanya ketimpangan gender menjadikan salah satu pihak berkuasa terhadap satu pihak yang lain.
Isu feminisme yang diangkat dalam sebuah permasalahan poligami ini nampak jelas ketika hak perempuan dikekang dalam masa perang di Afganistan. Seorang perempuan dimanapun termasuk perempuan Afgan dilahirkan untuk mempunyai hak yang sama dengan pria termasuk keinginan untuk maju. Feminisme adalah istilah yang sering kita dengar dan hal tersebut telah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Feminisme juga selalu dikaitkan dengan isu gender yang selalu menjadi perdebatan tentang perbedaan mendasar antara kaum laki-laki dan perempuan. Di dalam isu tersebut perempuan selalu menjadi kaum yang paling lemah di dunia (Peterson dan Runyan dalam Pengantar Studi Hubungan Internasional, 2005: 331).  
            Lantas yang jadi pertanyaan kenapa fenomena ini masih ada dan masih tertuang lewat sebuah novel karya Khaled Hosseini?. Di dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat. Islam datang mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah yang berlaku pada masa itu, seperti mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai pernah ada kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga sembilan puluh istri. Nah, semua ini dikecam dan dihapuskan untuk selama-lamanya.  Inilah jawabannya yang kami temukan dalam sebuah blog “MENYIKAPI FEMINISME DAN ISU GENDER (BAG DUA-HABIS)” oleh Dr. Syamsuddin Ari.
            Kepunahan jaman jahiliyah ternyata masih meninggalkan sisa-sisa paham yang masih melekat pada jiwa dan darah orang yang yang mendiami adaerah timur tengah. Fenomena keterlekatan ini yang melahirkan isu poligami yang berujung pada ketertindasan perempuan di Afganistan dan isu feminisme dan emansipasi lahir juga.
            Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin6. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak. Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi.




























PEMBAHASAN

            Point yang penting  dalam novel ini adalah hal Poligami. Setelah membaca buku ini, kami menyimpulkan bahwa poligami adalah suatu yang biasa di negara Islam khususnya Afganistan sebagai setting utama dalam cerita ini dan bahkan disaran dalam syariat islam jika si laki-laki mampu adil. Penulis menghadirkan dua potret poligami yang kontradiktif dalam cerita ini. Tokoh penting yang mempunyai istri lebih dari satu yaitu Jalil (ayah kandung Mariam) dan Rasyed (suami Mariam dan Laila). Kedua tokoh pria poligami ini dengan jelas mempunyai perbedaan perilaku dalam berkeluarga, terutama dalam memperlakukan wanita sebagai istrinya.
            Tokoh Mariam kecil (sebelum komunis Soviet masuk Afgan atau Kota Herat tepatnya) yang tinggal di desa terpencil, mempunyai keinginan untuk bersekolah di kota setelah mendengarkan cerita ayahnya, Jalil tentang kemajuan di Kota Herat dan kenyataan bahwa saudara-saudara tirinya mengenyam pendidikan yang tinggi di kota. Keinginan Mariam kecil ini dapat dikatakan sebagai bentuk awal tumbuhnya sisi feminisme di dalam pemikiran Mariam kecil. Walaupun ia belum memahami tentang prinsip persamaan hak antara pria dan wanita tetapi ia sudah mempunyai keinginan agar ia mendapat hak yang sama dengan saudara laki-lakinya. Di bagian awal secara implisit penulis menghadirkan sisi feminisme dalam tokoh Mullah Faizullah yang merupakan guru mengaji Mariam. Mullah Faizullah mendukung keinginan Mariam kecil untuk bersekolah di kota yang pada akhirnya pendapat Mullah Faizullah ditentang oleh Nana, Ibu Mariam. Dapat dikatakan bahwa Mullah Faizullah memahami sepenuhnya kodrat serta hak hak yang seharusnya diperoleh oleh wanita serta mendukung perempuan untuk maju walaupun dia adalah seorang laki-laki. Begitu juga dengan tokoh Laila yang tinggal di Kota Kabul (Kota terbesar di Afgan), dia terlahir dari bapak yang memang berpendidikan sehingga naluri untuk maju sangat tinggi. Walaupun setelah hak sebagai manusia dan perempuan terjajah oleh suaminya, tetapi dia bangkit kembali setelah bertemu dengan mantan pacarnya. Walaupun sudah hidup enak dengan suami yang dia idamkan di Pakistan, dia punya keinginan kuat untuk membangun kembali kota Kabul atau tanah airnya. Dia memilih mengabdi menjadi pengajar anak yatim-piatu di tempat panti asuhan dimana dulu Aziza anaknya pernah tinggal.
            Jalil seorang terkaya di kota Herat adalah ayah kandung Mariam yang “tidak” bisa mengakui sepenuhnya Nana (ibu Mariam) sebagai istri karena dia tidak punya sikap yang tegas sebagai suami dan seorang pria tentunya. Karena hubungan mereka bukan didasari ikatan perkawinan hanya sekadar saling mencintai, maka Istri-istri sah Jalil ternyata bisa menerimanya. Apalagi Istri-istri Jalil ternyata lebih berkuasa dari sang suami Jalil. Jalil seperti kambing congek yang tidak bisa memutuskan sesuatu sesuai kata hati, terutama keputusan dia mengawinkan anaknya Mariam dengan Rasyeed yang sebenarnya dalah ide istri-istrinya supaya Mariam (yang saat itu baru berumur 15 dan baru berdukua karna ditinggal mati ibunya dengan cara gantung diri) bisa keluar dari kota Herat dan tinggal di kota Kabul yang jaraknya jauh sehingga nama baik keluarga Jalil bisa dijaga. Menurut saya, sebenarnya mirip sinetron Indonesai, istri-istri sah Jalil hanya ingin menyelematkan kekayaan suaminya supaya potongan kekayaan-nya tidak lebih banyak. Mungkin pernikahan poligami yang didasari karena harta mungkin efeknya seperti digambarkan sebagai keluarga Jalil ini. Kerukunan antar istri Jalil karena mereka sama-sama mendapat kekayaan dan kesejahteraan.
            Contoh poligami yang lain adalah suami Mariam sendiri yaitu Rasyeed. Rasyeed bukan orang kaya karena dia hanya seorang tukang sepatu yang mempunyai klien orang-orang terkenal di Kabul. Mariam adalah perempuan yang dikawini dengan mudah setelah istrinya meninggal dunia. Kemudian istri keduanya adalah Laila yang dia nikahi dengan mudah setelah Laila ditipu mentah-mentah tentang keberadaan pacarnya Tariq yang sekarat dan Laila sudah terlanjur mengandung benih Tariq. Kehidupan Kedua istri Rasyeed ini benar-benar mengalami kemalangan, penuh dengan siksaan batin dan fisik. Rasyeed adalah seorang pria yang licik dan keras sehingga dia bisa melakukan apa saja terhadap istrinya. Poligami yang didasari hanya kebutuhan seks atau tidak ada hubungan dengan kemakmuran akan berakibat sebuah malapetaka. Ketidak adilan perlakuan suami terhadap istri tua-muda terpaksa harus diterima begitu saja oleh salah satu atau kedua istri. Beda sekali dengan keluarga Jalil, ketidak adilan Jalil terhadap istri-istrinya juga diterima begitu saja asalkan kesejahteraan tetap masih berpihak kepada masing-masing istrinya. Malang sekali nasib Mariam dan Laila yang hidup dalam kemiskinan.
            Pada awal poligami, Mariam dan Laila tidak begitu akrab. Perempuan manapun dilahirkan untuk mempunyai sikap untuk menolak ketidak adilan, tidak hanya kepada suami, Tuhan-pun kadang-kadang mereka tidak menerima susutu yang menurut dia “tidak” adil. Keakraban mereka muncul karena perasaan sama-sama menderita karena perlakuan suami. Beda sekali dengan istri-istri Jalil. Gambaran yang berbeda 100% ini menjadi hal yang menarik dalam buku ini.
            Isu feminisme yang diangkat dalam sebuah permasalahan poligami ini nampak jelas ketika hak perempuan dikekang dalam masa perang di Afganistan. Seorang perempuan dimanapun termasuk perempuan Afgan dilahirkan untuk mempunyai hak yang sama dengan pria termasuk keinginan untuk maju. Feminisme adalah istilah yang sering kita dengar dan hal tersebut telah ada sejak beberapa tahun yang lalu. Feminisme juga selalu dikaitkan dengan isu gender yang selalu menjadi perdebatan tentang perbedaan mendasar antara kaum laki-laki dan perempuan. Di dalam isu tersebut perempuan selalu menjadi kaum yang paling lemah di dunia (Peterson dan Runyan dalam Pengantar Studi Hubungan Internasional, 2005: 331).  
            Lantas yang jadi pertanyaan kenapa fenomena ini masih ada dan masih tertuang lewat sebuah novel karya Khaled Hosseini?. Di dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat. Islam datang mengeliminasi adat-istiadat Jahiliyah yang berlaku pada masa itu, seperti mengubur hidup-hidup setiap bayi perempuan dilahirkan, mengawini perempuan sebanyak yang disukai dan menceraikan mereka sesuka hati, sampai pernah ada kepala suku yang mempunyai tujuh puluh hingga sembilan puluh istri. Nah, semua ini dikecam dan dihapuskan untuk selama-lamanya.  Inilah jawabannya yang kami temukan dalam sebuah blog “MENYIKAPI FEMINISME DAN ISU GENDER (BAG DUA-HABIS)” oleh Dr. Syamsuddin Ari.
            Kepunahan jaman jahiliyah ternyata masih meninggalkan sisa-sisa paham yang masih melekat pada jiwa dan darah orang yang yang mendiami adaerah timur tengah. Fenomena keterlekatan ini yang melahirkan isu poligami yang berujung pada ketertindasan perempuan di Afganistan dan isu feminisme dan emansipasi lahir juga.
            Menurut analisis feminisme, ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks, sekalipun kata “gender” dan “seks” secara bahasa memang mempunyai makna yang sama, yaitu jenis kelamin6. Konsep seks, bagi para feminis, adalah suatu sifat yang kodrati (given), alami, dibawa sejak lahir dan tak bisa diubah-ubah. Konsep seks hanya berhubungan dengan jenis kelamin dan fungsi-fungsi dari perbedaan jenis kelamin itu saja, seperti bahwa perempuan itu bisa hamil, melahirkan, menyusui, sementara lelaki tidak. Adapun konsep gender, menurut feminisme, bukanlah suatu sifat yang kodrati atau alami, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial dan kultural yang telah berproses sepanjang sejarah manusia. Umpamanya bahwa perempuan itu lembut, emosional, hanya cocok mengambil peran domestik, sementara lelaki itu kuat, rasional, layak berperan di sektor publik. Di sini, ajaran agama diletakkan dalam posisi sebagai salah satu pembangun konstruksi sosial dan kultural tersebut. Melalui proses panjang, konsep gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Maksudnya, seolah-olah bersifat biologis dan kodrati yang tak bisa diubah-ubah lagi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar