Rabu, 19 Januari 2011

PUISI INDONESIA KONTEMPORER



By: ida nurul chasanah


Sejarah Puisi Indonesia

Puisi pada awalnya dipahami sebagai sebuah karya yang terikat.  Terikat artinya, dalam setiap baris ada berapa kata, dalam setiap bait ada berapa baris, bersajak dan berirama, dll.  Namun, dalam perkembangannya, batasan ini tidak lagi berlaku.
Dalam perspektif sejarahnya, dapat diketahui bahwa sifat-sifat puisi cenderung berganti-ganti arah.  Itulah sebabnya upaya mendefinisikan puisi yang berlaku umum untuk semua periode sejarah sering menjadi sia-sia.  Karenanya, batasan puisi haruslah dipertimbangkan dalam konteks kesejarahan atau periode tertentu.
Dalam sejarah kesusastraan ada beberapa tahapan yang mewarnai perkembangan puisi Indonesia:
1.      Mantra
2.      Pantun
3.      Soneta
4.      Puisi Baru
5.      Chairil Anwar
6.      Sutardji Calzoem Bachri
Setelah periode Sutardji puisi Indonesia berkembang lebih bebas dan semakin jauh dari batasan awal puisi.
Puisi Sebagai Bentuk Karya Seni
Puisi tidak sekedar dapat dinikmati melalui teks, tetapi puisi juga dapat dinikmati melalui pembacaan teks ataupun pementasan.  Fenomena ini menunjukkan bahwa Puisi Indonesia merupakan suatu fenomena keberaksaraan yang beralih menuju kelisanan.
Sehubungan dengan hal tersebut, ada dua jenis puisi, yaitu : (1) Puisi yang bisa dibacakan dan (2) Puisi yang tidak dapat dibacakan, atau yang biasa disebut dengan “puisi kamar”.  Puisi kamar merupakan puisi yang cara menikmatinya dengan perenungan, puisi untuk direnungkan, tidak dapat dibacakan.  Contoh puisi kamar adalah sebagai berikut.
SOAL
Rakyat - (Penguasa + Pengusaha): (Umara + Ulama) +
(Legislatif - Eksekutif) + (Cendekiawan x Kiai) = ?

                       1993
MERDEKA
Merdeka!
@#$&*{?}<[!]
?.!.?.!.?.!!!
Merdeka?

1994

Kedua puisi di atas tidak dapat dibacakan sesuai dengan apa yang tertera dalam teks, tetapi hanya dapat direnungkan atau dapat dibacakan dengan cara teatrikalisasi puisi.
Pembacaan puisi merupakan cara untuk memasyarakatkan puisi (melisankan puisi).  Ada beberapa metode pembacan puisi, yaitu:
1.      Baca Puisi
2.      Deklamasi
3.      Musikalisasi Puisi/ Teatrikalisasi Puisi
Dalam beberapa metode pembacaan puisi di atas dapat diketahui komunikasi antara “teks – pembaca – pengarang – masyarakat”.
1.  Baca Puisi
Membaca puisi sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks puisi.  Dalam pembacaan puisi, pembaca membawa serta teks tertulis, dan teks tersebut dibaca sehingga tidak perlu dihafalkan.  Dengan demikian, komunikasi antara teks – pembaca – pengarang – masyarakat terjadi.  Pembaca membaca teks, tetapi juga sekaligus harus berkomunikasi dengan masyarakat penikmat baca puisi.  Ada pergantian pandang pembaca puisi pada teks dan masyarakat.
Dalam perkembangannya, baca puisi seringkali tidak lagi sesuai dengan teks.  Fenomena ini belum begitu memasyarakat, tetapi telah ditemukan dalam beberapa pembacaan puisi.
2.  Deklamasi
Metode deklamasi hampir sama dengan baca puisi, artinya teks yang dibacakan sama dengan teks tertulis.  Perbedaannya, dalam deklamasi, pendeklamator tidak membawa naskah, sehingga ia harus menghafalkan teks tersebut.  Hal ini dapat berdampak buruk pada penampilan, jika pendeklamator lupa akan teks yang dibacakan.  Karena pendeklamator tidak membawa teks, maka ekspresi dengan gerakan tubuh dapat lebih maksimal dilakukan guna mengekspresikan puisi yang dideklamasikan.  Komunikasi antara pembaca dan masyarakat dapat terjadi secara langsung, komunikasi pengarang dan masyarakat diwakili oleh kepiawaian pendeklamator tersebut.  Masyarakat dapat menikmati atau tidak dapat menikmati teks tersebut juga sangat tergantung oleh pembawaan pendeklamator tersebut.
Dalam perkembangannya, deklamasi seringkali tidak lagi sesuai dengan teks.  Fenomena ini belum begitu memasyarakat, tetapi telah ditemukan dalam beberapa acara deklamasi.
3.   Musikalisasi/ Teatrikalisasi Puisi
Musikalisasi puisi adalah pembacaan puisi yang diiringi dengan iringan musik.  Sedangkan teatrikalisasi puisi adalah mementaskan puisi dalam bentuk pementasan tater.  Dalam teatrikalisasi puisi posisi teks telah mati, artinya segala hal yang ditampilkan di atas panggung merupakan pengembangan dari teks puisi.  Teatrikalisasi puisi seringkali dibawakan lebih dari satu orang dengan bantuan beberapa properties.  Komunikasi antara teks-pembaca-pengarang-masyarakat terbentuk jika segala sesuatu yang ditampilkan oleh grup tersebut berhasil ditangkap oleh masyarakat.  Masyarakat “membaca” teks melalui representasi yang diwujudkan dalam atraksi-atraksi teatrikalisasi puisi tersebut.

***adek***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar