Rabu, 19 Januari 2011

sastra pembebasan


Sepuluh bacaan terpilih dibawah ini adalah contoh-contoh dari sastra pembebasan. Ada yang mewakili pengarang mapan atau senior, dan yang lain mewakili para pengarang mutakhir, termasuk yang remaja.

1.      Aku Ingin Jadi Peluru (Kumpulan Sajak Wiji Thukul)
Kumpulan sajak Aku Ingin Jadi Peluru diterbitkan Indonesiatera (Magelang) tahun 2000 dan cetak ulang ke-2 tahun 2004, berisi lebih dari 100 judul sajak yang ditulis penyair Wiji Thukul (kelahiran Surakarta, 26 Agustus 1963) sejak tahun 1986 hingga 1996. Dari pengantar penerbit (halaman v-ix) diperoleh catatan bahwa Wiji Thukul adalah seorang penyair yang gigih memperjuangkan gagasan dan kebenaran yang diyakininya, dan dengan resiko apa pun pantang surut membela apa yang dianggap benar dan harus dibelanya.
Wiji Thukul yang sadar pada posisi pribadinya sebagai orang kecil lantas mengungkapkan perjuangannya dengan sajak-sajak. Pada pandangan Wiji Thukul, seorang penyair haruslah berjiwa bebas dan aktif dalam mencari kebenaran dan mempertanyakan kembali apa yang pernah diyakininya. Penyair dapat belajar di mana saja untuk mempertajam kepekaannya terhadap gerak hidup diri sendiri dan lingkungannya. Dalam penciptaan puisi sesungguhnya penyair hanya bergantung kepada diri sendiri, sedangkan kritikus cukup di urutan keempat.
Wiji Thukul dikenal sebagai penyair rakyat jelata, bukan hanya karena visi dan semangat sajak-sajaknya, melainkan juga kehidupan sehari-harinya. Dia jebolan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta tahun 1982 karena tidak memiliki biaya. Kemudian bekerja serabutan sebagai buruh pabrik, tukang pelitur, dan lain-lain. Di celah kesibukan sehari-hari itulah dia menulis puisi dengan bahasa yang sederhana, tetapi semangat menyala-nyala membela kaum jelata. Puisinya tersebar di berbagai koran dan dengan puisi itulah pernah mengamen musik dan puisi di mana-mana, bahkan sampai ke Korea dan Australia. Sejumlah sajaknya pernah dibacakan di Taman Budaya Surakarta, Goethe Institut, Erasmus Huis, dan lain-lain. Tahun 1991 Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award (bersama Rendra), sebuah penghargaan yang tinggi untuk menghormati jasa-jasa sosiolog Belanda W.F. Wertheim.
Menurut Herman J. Walujo (2000), Wiji Thukul termasuk penyair muda yang terpaksa menghadapi ancaman penguasa (Orde Baru) disebabkan oleh keberaniannya yang berlebihan sehingga kehilangan kebijaksanaan dalam situasi politik yang represif pada masanya. Nasib dan keberadaannya tidak diketahui setelah terjadi peristiwa 27 Juli 1996 di Jakarta. Dia menjadi korban “asap politik” Orde Baru. Di bawah ini dikutip salah satu sajaknya dalam Aku Ingin Jadi Peluru (halaman 61).

MENDONGKEL ORANG-ORANG PINTAR
Kudongkel keluar
orang-orang pintar
dari dalam kepalaku
aku tak tergetar lagi
oleh mulut orang-orang pintar
yang bersemangat ketika berbicara

dunia bergerak bukan karena omongan

para pembicara dalam ruang seminar
yang ucapnya dimuat
di halaman surat kabar
mungkin pembaca terkagum-kagum
tapi dunia tak bergerak
setelah surat kabar itu dilipat

Kampung halaman, Solo 8 September 1993

Apa pun penilaian pembaca dan kritikus, yang jelas Wiji Thukul telah menghasilkan kumpulan puisi yang akan terbaca kapan saja dan dimana saja, sejauh Aku Ingin Jadi Peluru yang diberi pengantar oleh Munir (tokoh Kontras yang kematiannya menjadi perhatian dunia) masih terjangkau pembaca.

2.      Bumi Manusia (Roman Pramoedya Ananta Toer; 1926-2006)
Roman Bumi Manusia adalah buku pertama dari empat roman yang ditulis Pramoedya Ananta Toer selama menjalani pengasingan di Pulau Buru tahun 1969-1979. Tiga Roman berikutnya adalah Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1987). Popularitas roman-roman tersebut tidak perlu dijelaskan lagi di sini karena sudah ditulis banyak orang. Dapat dipahami apabila ada orang berpendapat bahwa keterkenalan roman-roman itu bukan semata-mata karena isinya, melainkan karena nama pengarangnya. Seandainya roman-roman itu bukan karangan Pramoedya Ananta Toer, boleh juga dipertanyakan sambutan masyarakat pembaca terhadapnya.
Bumi Manusia diterbitkan pertama kali oleh Hasta Mitra (Jakarta) pada pertengahan tahun 1980, tidak lama setelah pengarang Pramoedya Ananta Toer dibebaskan (oleh penguasa Orde Baru) dari pengasingannya di Pulau Buru. Ternyata dalam tempo singkat dinyatakan ”terlarang” oleh pmerintah, tetapi kemudian justru dicari banyak orang. Itulah sebabnya roman-roman tersebut dapat dianggap mewakili semangat pembebasan publik dan ternyata baru bebas dibaca orang setelah reformasi Mei 1998. Kalau dahulu roman-roman tersebut dicetak sederhana dan terbatas, kini tercetak bagus dan mudah dibeli di banyak tempat.
Nama Pramoedya Ananta Toer sendiri sudah memikat perhatian publik justru karena nasibnya yang sering ironis. Di satu sisi dia berjaya karena karya sastranya, tetapi di sisi lain dia terpuruk. Pramoedya Ananta Toer diberi penghargaan yang tinggi oleh kalangan tertentu di luar negeri, tetapi dikecam orang di negerinya sendiri. Karyanya dibaca oleh para siswa di Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Belanda, tetapi justru terlarang di negeri sendiri. Menurut Iwan Gunadi (Kompas, 4 Mei 2006), ironi tersebut berpangkal pada masa lalu Pramoedya Ananta Toer sendiri. Katanya, ketika berjaya dalam Lekra tahun 1960-an Pramoedya giat menyerang dan membabat para pengarang di luar kelompoknya sehingga berkemungkinan timbul semacam dendam sosial terhadapnya.
Terlepas dari anggapan itu, Bumi Manusia boleh dipandang sebagai ikon kepengarangan Pramoedya setelah melewati belasan tahun tamatnya riwayat Lekra. Berbagai pendapat dan komentar pakar seputar roman itu telah bertebaran di media massa dan kebanyakan sepakat mengakui kehebatan Pramoedya sebagai pengarang.
Adapun intisari Bumi Manusia adalah kisah kasih tak sampai antara pemuda pribumi Minke dengan Annelies, seorang gadis Indo yang cantik. Kisah tersebut dibalut warna sejarah yang menguak kesadaran nasional orang-orang pribumi pada zaman kolonial Belanda.
Itulah sebabnya roman tersebut (dan ketiga roman berikutnya) dianggap sebagai siasat Pramoedya dalam mencoba mengungkapkan pandangannya sendiri terhadap kebangkitan nasional yang selama ini diperingati pada setiap tanggal 20 Mei. Akan tetapi, masalah tersebut masih harus dikaji secara mendalam oleh para pakar, baik kritikus maupun sejarawan.
Sementara itu, baiklah dicatat bahwa Bumi manusia memang pantas dijadikan bacaan terpilih di antara sekian banyak khazanah sastra Indonesia mutakhir. Bukan semata-mata karena nama besar pengarangnya, melainkan lebih pada karya.

3.      Celana (Kumpulan Sajak Joko Pinurbo)
Buku kumpulan sajak relatif lebih gampang dibaca daripada kumpulan cerpen dan novel. Bukan karena sajak-sajaknya dianggap mudah, melainkan pembacaannya terbilang gampang. Anggapan seperti itu dapat diberlakukan kepada kumpulan sajak Celana karya Joko Pinurbo (kelahiran Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962). Buku tersebut diterbitkan pertama kali oleh Indonesiatera (Magelang) Juni 1999, setahun setelah pecahnya reformasi Mei 1998. Isinya tercatat 44 sajak yang ditulis pada tahun 1989-1998. Dapat dipastikan bahwa jumlah itu hanyalah sebagian dari ratusan sajak Joko Pinurbo yang sudah tersebar di koran dan majalah.
Pemahaman terhadap sajak-sajak Joko Pinurbo boleh jadi lancar dan nikmat karena terbantu oleh pengantar sang penyair dan catatan penutup Sapardi Djoko Damono. Penyair Joko Pinurbo yang mengaku sudah 20 tahun belajar menulis puisi masih merasa ragu untuk membukukan sejumlah sajaknya karena merasa belum memiliki sajak-sajak yang secara kualitatif layak dibukukan. Pengakuan yang terkesan rendah hati itu pun dapat memancing perhatian pembaca sehingga timbullah semangat meyimak sajak-sajak Celana yang judulnya saja bisa mengundang pertanyaan.
Kemudian tampaklah sajak-sajak berjudul `Celana (1)`, `Celana (2)`, `Celana (3)`, ada `Terkenang Celana Pak Guru`, ada `Ranjang (1)`, `Ranjang (2)` sampai `Ranjang (12)`, ada juga `Poster Setengah Telanjang`, `Gambar Porno di Tembok Kota`, dan ada `Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem`. Di akhir buku terbacalah catatan penutup Sapardi Djoko Damono berjudul `Burung dalam Celana Joko Pinurbo` yang sepintas kilas bisa ditafsirkan humor berbau porno oleh pembaca tertentu.
Ternyata Sapardi telah menjelaskan secara populer bahwa sajak-sajak Joko Pinurbo dapat dianggap atau disebut surealis yang mencoba mengungkapkan dunia bawah sadar kita. Pada akhirnya, Sapardi berpendapat bahwa sang penyair telah berusaha memberikan tanggapan terhadap berbagai masalah sosial dan konflik batin kita sehingga berhak mendapat perhatian pembaca.
Komentar pakar pun terpajang di sampul belakang buku, ada Melani Budianta, Riris K. Toha Sarumpaet, dan Cecep Syamsul Hari. Melani yakin akan banyak orang Indonesia suka sastra setelah membaca sajak-sajak dalam Celana; Riris menyatakan bahwa Celana adalah kumpulan pemikiran reflektif mengenai realitas sosial yang selalu kini; Cecep memuji Joko Pinurbo sebagai penyair yang berpikir ketat seperti para filosof. Dari komnetar itu saja, sepantasnya kumpulan sajak Celana ditawarkan sebagai bacaan terpilih. Sebagai selingan, dikutip sajak terakhir dalam Celana (halaman 65).

KURCACI

Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam
Dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan

Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah
Sementara pena yang dihunusnya belum mau patah
(1998)
4.      DeaLova (Novel Dyan Nuranindya)
Novel ini boleh dikata teenliit-pertama bukan terjemahan yang menggegerkan dunia perbukuan Indonesia. Diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama April 2004 dan ternyata dalam tempo singkat dicetak berulang kali. Padahal ceritanya biasa saja, khas cerita remaja kota yang glamor dan ‘tak pernah susah’. Namun, begitu terpajang di toko buku segera mendapat sambutan meriah. Tak tanggung-tanggung, sejak cetakan pertama April 2004, DeaLova masuk kategori teenlit best seller dan diangkat pula ke layar lebar dengan judul sama. Kisahnya adalah seputar percintaan remaja antara tiga orang tokoh, Klara, Ibel, dan Dira.
Karra adalah cewek tomboi dan jago main basket. Berbeda dari penampilan para tomboi yang kelelaki-lelakian, Karra justru tampil feminim. Dia selalu kelihatan easy going, tak pilih-pilih dalam berteman, namun kalau sudah marah, sangat sulit untuk minta maaf. Karra berkakak semata wayang yang sangat sayang, Iraz namanya. Teman-teman Iraz terbawa sayang juga pada Karra, terutama Ibel yang jago main gitar. Ibel sudah menunjukkan rasa sayang yang lebih dari cowok lain, namun Karra tetap menganggapnya kakak, tidak lebih.
Perhatian khusus Karra tertuju kepada Dira, siswa baru di sekolahnya. Seperti Ibel, Dira pun tertarik kepada Karra, namun dia menunjukkan perhatiannya itu dengan cara yang berbeda. Dira selalu bersikap angkuh dan ketus. Dari luar, sangat jelas terlihat dia membenci Karra. Begitu juga sebaliknya, sedangkan Ibel selalu bersikap penuh perhatian dan sayang kepada Karra. Proses hubungan ’benci tapi rindu’ menuntun Karra untuk memilih Dira. Mereka pun jadian dan kesempatan Ibel untuk menjadi pacar Karra pun tertutup.
Namun, belakangan tahulah Karra bahwa Dira mengidap suatu penyakit yang mematikan. Takdir memberikan kesempatan kedua kepada Ibel untuk mendapatkan Karra. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan Karra pun menyambut dengan tangan terbuka. Bagaimana detail kisahnya, pasti lebih seru apabila disimak sendiri oleh para pembaca, baik yang remaja maupun yang mengaku sudah dewasa.

5.      Dekat di Mata Jauh di Hati (Novel Nora Umres)
Novel Dekat di Mata Jauh di Hati merupakan pengembangan cerita Uki: Ini Labirin Cinta (Gramedia Pustaka Utama, 2002). Dua-duanya cetak ulang dalam waktu yang relatif singkat. Dibandingkan dengan teenlit yang lain, karya Nora Umres ini tampak berbeda, terutama dari segi bahasa dan pesan. Tetap menggunakan bahasa gaul, namun menyuguhkan bunyi dan irama bahasa yang biasanya ada dalam ’sastra serius’. Tetap bertutur tentang cinta anak SMA, tetapi bertabur pesan-pesan bijaksana dengan gaya yang jauh dari kesan menggurui.
Latar kisahnya di SMA Merdeka, tempat Uki terkenal sangat murah senyum kepada siapa saja. Itulah sebabnya banyak cowok yang jatuh cinta kepadanya. Dari cowok terkeren seperti Dido, cowok penggemar ilmu pasti seperti Kibar hingga Pak Cip, guru Bahasa Indonesia yang telah beristri pun tertarik kepada Uki. Namun, Uki justru jatuh hati kepada Mas Prie, redaktur majalah remaja yang sudah lebih dewasa ketimbang dirinya.
Setelah secara kebetulan Dido, Kibar, dan Pak Cip tahu hubungan khusus itu, isu pun beredar bahwa Uki telah menjadi kekasih gelap. Uki bingung saat mendapat surat kaleng yang berisi ancaman: Demi kebaikan kita bersama, lepasin Mas Prie sekarang juga. Kalau nggak, kamu kudu tanggung akibatnya.
Dari Mas Prie dia pun tahu, Odink-lah pelakunya. Pengarah gaya Art-O Modelling itu cemburu kepada Uki karena jatuh cinta juga pada Mas Prie. Dalam proses pencarian itu, Uki menemukan kenyataan pahit, Mas Prie tak jatuh cinta pada siapa pun, termasuk dirinya. Artinya, dia telah salah mengartikan ungkapan ’sayang’ Mas Prie. Uki pun patah hati, namun tak mau terus terpuruk. Apalagi kemudian dia tahu, hati Odink lebih berantakan karena bertepuk sebelah tangan juga.
Uki bangkit mengisi kehidupan dan saat itulah Roni datang. Siswa pindahan itu memesona seluruh cewek SMA Merdeka. Dido tak rela gadis idamannya jatuh ke pangkuan cowok lain. Dia pun berjuang keras mendekati Uki lagi. Ketika sadar Dido adalah cowok yang paling sayang kepada dirinya, Uki berhadapan dengan kenyataan yang membuat hati bimbang; Odink jatuh cinta kepada Dido dan mohon izin darinya untuk nembak cowok itu. Uki tak bisa membohongi diri sendiri bahwa dia ’ingin memiliki’ Dido, namun dia juga jatuh empati pada Odink yang punya kemungkinan terbatas dalam menjalin cinta karena gay.
Dalam kebimbangan, Uki minta saran dari Mas Prie. Apa saran Mas Prie? Tak banyak tetapi sangat pas:’Ikuti aja kata hatimu’. Uki pun melangkah mantap, jujur kepada diri sendiri, berdekat-dekat kembali dengan Dido. Tak hanya sebagai teman, tetapi kekasih yang telah lama ’dekat di mata jauh di hati’.

6.      Lukisan Kaligrafi (Kumpulan Cerpen A. Mustofa Bisri)
Nama pengarang A. Mustofa Bisri kelahiran Rembang, 10 Agustus 1944 boleh jadi lebih populer daripada buku kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Buku Kompas tahun 2003 dan mengalami cetak ulang kedua pada Juni 2005. Pengarang A. Mustofa Bisri atau Gus Mus adalah salah seorang tokoh di jajaran Rais PBNU dan pengajar di Pesantern Taman Pelajar Rembang yang merupakan almamaternya sebelum ke Al-Qism al` Aalie lid Diraasaati ’I-Islamiyah wal `Arabiyah Al-Azhar Universitas Kairo, Mesir. Kumpulan cerpen itu tidak hanya membuktikan keluwesannya bergaul dengan banyak kalangan. Ternyata di samping menulis cerpen, Gus Mus pun menulis puisi, artikel, pelajaran, dan melukis.
Dalam kata pengantar terbaca pengakuan Gus Mus bahwa cerpen pertamanya berjudul ”Gus Jakfar” yang dimuat Kompas, 23 Juni 2002 disambut hangat banyak orang. Bahkan, sejumlah kiai yang tidak biasa membaca cerpen memerlukan membacanya. Hal itulah kemudian mendorong Gus Mus rajin menulis cerpen, lebih-lebih setelah para redaktur koran yang memiliki rubrik budaya justru meminta atau memesan karangannya.
Dalam Lukisan Kaligrafi terhimpun 15 cerpen yang ditulis selama tahun 2002-2003, termasuk 4 cerpen yang belum pernah dipublikasikan, yaitu ”Amplop-Amplop Abu-Abu”, ”Ning Ummi”, ”Iseng”, dan ”Ndara Mat Amit”. Yang lain pernah terbit di Kompas, Suara Merdeka, Media Indonesia, dan Jawa Pos. Sesuai dengan judul dan latar belakang kehidupan pengarangnya, keseluruhan cerpen dalam Lukisan Kaligrafi memperlihatkan warna pesantern dengan berbagai persoalan yang tidak lain adalah masalah kemanusiaan pada umumnya.
Tentu saja tidaklah bijaksana apabila semua cerpen dalam Lukisan Kaligrafi dipaparkan di sini, tetapi boleh juga disajikan ringkasan cerpen berjudul ”Bidadari Itu Dibawa Jibril” (halaman 29-35) sebagai berikut.
Hindun adalah seorang gadis yang taat beragama Islam sebagaimana tampak pada busana dan ketaatannya beribadah seperti salat wajib tepat waktu, salat Dhuha, puasa Senin-Kamis, dan sebagainya. Setelah menjadi mahasiswa tampak semakin tegas sikapnya terhadap kemungkaran dan kemaksiatan. Pernah dia menegur seorang dosen yang memegang gelas dengan tangan kiri, pernah menegur dosen yang merokok, dan pernah juga menegur dosen yang memelihara anjing. Semua teguran itu bertujuan meluruskan kesalahan orang yang diketahuinya memeluk Islam.
Sikapnya yang lugas itu agak melunak setelah menjadi istri Mas Danu, sahabat pencerita. Tidak lama kemudian, Hindun mengikuti sebuah kelompok pengajian yang mengaku dipimpin langsung oleh Malaikat Jibril sehingga membikin resah Mas Danu yang merasa perlu mengabarkannya kepada pencerita. Hebatnya lagi, dari telepon Mas Danu terbayanglah di benak pencerita bahwa Hindun telah meninggalkan Islam yang dulu pernah diperjuangkannya. Hindun tidak lagi berjilbab, tidak menjalankan salat, dan juga tidak berpuasa. Bahkan pernah pulang dengan menggendong seekor anjing.
Lantas, apa pula kisah cerpen ”Lukisan Kaligrafi” yang dijadikan judul buku tersebut? Pembacalah yang paling tepat menjawabnya.

7.      Ragaula (Kumpulan Cerpen Triyanto Triwikromo)
Kumpulan cerita Ragaula diluncurkan oleh Penerbit Ainin (Semarang) pada September 2002 dengan slogan ”Perlu melanjutkan tradisi langka” demi kepengarangan Triyanto Triwikromo (kelahiran Salatiga, 15 September 1964) yang gayanya dianggap langka oleh banyak orang, termasuk kritikus Th Sri Rahayu Prihatmi. Alasan lain adalah memenuhi harapan para pengarang yang cenderung merasa resah terhadap langkanya penerbitan buku sastra, sampai-sampai ada pengarang yang menerbitkan buku sendiri karena tidak ingin karyanya hanya tersimpan di makan ngengat.
Barangkali kegelisahan itu pun berlaku pada Triyanto Triwikromo yang sejak tahun 1994 menjadi wartawan Suara Merdeka Semarang, kemudian pernah dinobatkan sebagai penyair terbaik nasional versi majalah Gadis tahun 1989. Namun, kegelisahan itu sepadan dengan perhatiannya yang bersungguh-sungguh terhadap dunia karang-mengarang yang hasilnya diyakini sendiri sebagai media komunikasi dengan pembaca. Meskipun sehari-harinya sebagai wartawan selalu berurusan dengan kabar-berita, Triyanto Triwikromo gigih menulis cerita (fiksi) dan puisi sehingga dalam tempo singkat cerpen-cerpennya terbit di sejumlah media (seperti Suara Merdeka, Wawasan, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, dan Republika) dan berbagai antologi. Namun, penerbitan buku yang sepenuhnya atas namanya sendiri memang dipandang penting.
Wajarlah apabila Triyanto Triwikromo mengaku gembira mendengar tawaran Penerbit Aini, penerbit yang dikelola anak-anak muda Semarang, untuk menyatukan cerita-ceritanya yang tercerai berai. Setelah seleksi sana-sini maka terhimpunlah 17 cerpen yang ditulis antara tahun 1989 hingga 2002, antara lain berjudul ”Arwah Kupu-kupu”, ”Anak-Anak Mengasah Pisau”, ”Cinta Tak Mati-Mati”, ”Hujan Medusa”, ”Naraka Orang Lain”, ”Ritus”, ”Perempuan Got”, ”Bulan di Atas Katedral”, dan ”Ragaula” yang sekaligus dijadikan judul buku kumpulan cerita Ragaula setebal 180 halaman.
Tentang kesan pembaca terhadap kumpulan cerita itu baiklah dipinjam komentar Afrizal Malna yang tertulis di sampul belakang Ragaula, yang tampaknya sudah dipajang juga dalam buku antologi Pintu Tertutup Salju (2000).
Menurut Afrizal, Triyanto memperlakukan cerpen-cerpennya sebagai media rekreasi puitika ke ruang prosa dengan berbagai kemungkinan medan teks yang didekonstruksi dan diciptakan kembali. Triyanto tidak peduli lagi pada kausalitas plot sehingga formalisme tidak menjadi bahan pertimbangan prosedural dalam penulisan cerpen-cerpennya. Triyanto tampak lebih sibuk dengan menggerakkan bandul cerita, berita, dan peristiwa yang membuat cerpennya riuh oleh gerakan tiga bandul itu. Bandul-bandul yang tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang menentukan cerpen-cerpen, namun lebih sebagai sesuatu yang membuat gerak daripada ruang dalam sebagian besar cerpennya.
Afrizal Malna pun menyatakan bahwa cerpen-cerpen Triyanto seperti tubuh penuh tato yang menggambarkan berbagai teks tentang kekerasan sehingga cerpen menjadi medan penorehan risiko-risiko sosial yang perih.

8.      Saman (Ayu Utami)
Novel Saman sebenarnya sebuah fragmen dari novel pertama Ayu Utami,”Laila Tak Mampir di New York” dan fragmen itulah yang menjadi pemenang pertama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Pengarang Ayu Utama dilahirkan di Bogor, 21 November 1968, besar di Jakarta, dan kuliah di Jurusan Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Bukunya diterbitkan pertama kali oleh Jurnal Kebudayaan Kalam dan Kepustakaan Populer Gramedia pada April 1998, dan hingga tahun 2001 mengalami cetak ulang ke-17. Data itu saja sudah berkemungkinan membikin pembaca penasaran dan bertanya-tanya, apakah kehebatan novel Saman?
Jawabannya sudah terwakili oleh sejumlah komentar yang dipajang di depan dan di akhir buku tersebut, antara lain dari J.B. Kristanto, Laila S. Chudori, Arif Zulkifli, Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, Faruk H.T, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, dan Pramoedya Ananta Toer.
Menurut J.B. Kristanto, Saman mampu menangkap karut-marut zamannya dan mengisahkannya dengan fasih, bahkan tanpa beban, sehingga membuat pembaca tidak ingin melepaskannya. Sementara itu, Leila S. Chudori berpendapat bahwa Saman yang kaya akan fakta sehari-hari dan berbagai perbenturan pemikiran ternyata tidak jatuh kepada sebuah karya yang sekadar serebral dan intelektual belaka, tetapi berhasil menyentuh emosi.
Arif Zulkifli berkomentar bahwa Saman mengingatkan orang kepada roman-roman sejarah Pramoedya Ananta Toer yang kaya peristiwa berdasarkan riset yang rigid, sedangkan Sapardi Djoko Damono menuliskan komentarnya dengan kata ”dahsyat”, dengan alasan bahwa Saman memamerkan teknik komposisi yang—sepanjang pengetahuannya—belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia; sedangkan Umar Kayam menyatakan kekagumannya dengan perkiraan yang sulit ditandingi penulis-penulis muda, bahkan penulis tua sekalipun.
Lantas apa sebenarnya kisah Saman? Di dalamnya ada empat tokoh perempuan: Laila, Shakuntala, Cok, dan Yasmin yang memandang berbagai masalah kemanusiaan seperti dogma, moral, politik, dan seks dengan sikap kritis masing-masing. Misalnya, moralitas dipandang sebagai sesuatu yang berubah-ubah sesuai dengan waktu dan tempat, bahkan seks pun ternyata tidak selalu terbingkai oleh lembaga perkawinan.
Pendek kata, Saman pantas disimak sebagai salah satu novel Indonesia mutakhir tulisan seorang perempuan terpelajar yang telah secara terbuka menawarkan gagasan-gagasan seputar kehidupan manusia di zaman yang semakin hiruk pikuk.

9.      Sori Gusti (Kumpulan Sajak Darmanto Jatman)
Buku kumpulan sajak Sori Gusti karya Darmanto Jatman terbitan Limpad, Semarang tahun 2002 tebal 446 berisi 165 sajak tahun 1959-2002. Buku itu diterbitkan untuk ulang tahun ke-60 sang penyair dan seolah-olah dimaksudkan sebagai potert riwayat perjalanan panjang kepenyairannya. Hal itu tampak pada bagian-bagian buku yang disebut Banjaran Ketujuh. Istilah banjaran dalam tradisi pewayangan Jawa berarti episode-episode yang bersambungan sehingga membentuk sebuah riwayat seorang tokoh. Misalnya, Lakon Banjaran Bima, Banjaran Arjuna, dan Banjaran Karna.
Banjaran Pertama diberi subjudul ”Testimoni: Sori Gusti”, Banjaran Kedua diberi subjudul ”Main Cinta Model Kwang Wung”, Banjaran Ketiga diberi subjudul ”Plesir”, Banjaran Keempat diberi subjudul ”Medali-Medali Peradaban”, Banjaran Kelima diberi subjudul ”Laporan kepada Rakyat”, Banjaran Keenam diberi subjudul ”Bahwa Aku Sekarang Merasa Tua”, dan Banjaran Ketujuh diberi Subjudul ”Seorang Modern Menulis Puisi”. Tampaklah bahwa seluruh puisi dalam setiap banjaran mewakili episode-episode kehidupan sang penyair. Anggapan itu tidak meleset, sebab catatan penerbit pun menegaskan demikian.
Selain catatan itu, terpajang juga esai penyunting (Triyanto Trikromo) dan esai seorang pengamat (Adriani S. Soemantri) yang telah membantu pembaca untuk menikmati sajak-sajak dan memahami visi kepenyairan Darmanto (kelahiran Jakarta, 16 Agustus 1942). Menurut Triyanto, berhadapan dengan sekian banyak sajak-sajak Darmanto maka orang pun bisa menjadi ”laba-laba yang tertatih-tatih untuk menyusuri pusat makna. Atau sekadar melewati jaring-jaring sunyi, sementara sang makna—keindahan misterius—itu lenyap begitu saja ditelan kegelapan”.
Di mata Adriani S. Soemantri (penggiat komunitas Limpad), sosok penyair Darmanto tampak selalu berusaha menjadi dirinya sendiri. Darmanto Jatman tidak ingin berada dalam sebuah lingkaran atau komunitas yang memapankan dirinya meskipun mungkin terasa nyaman. Bahkan kedekatannya dengan Allah pun tidak selalu terlihat mulus. ”Allah dicemburuinya. Allah dicumbunya. Allah dibujuknya. Allah dipertanyakan, digoda, diejek. Allah sempat ditantang untuk menggodanya” tulis Adriani.
Pendek kata, Darmanto Jatman adalah sosok penyair yang sajak-sajaknya tidak akan habis dibaca dan ditafsirkan orang. Anggapan itu pun sudah ditorehkan sejumlah pakar yang komentar-komentarnya dijadikan semacam ornamen sampul buku Sori Gusti. Ada komentar Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, S. Prasetyo Utomo, Sutanto Mendut, Sapardi Djoko Damono, bahkan ekonom Sri Edi Swasono, pakar hukum Satjipto Rahardjo, dan Rektor Undip Eko Budihardjo.
 Jadi, Sori Gusti memang pantas disimak tuntas. Misalnya, sajak terakhir terkutip sebagai berikut:

AMPUN GUSTI

Paduka ngendika:
Tulislah puisi!

Siap! Kerjakan!
Puisi apa Gusti?

Tulislah puisi yang
Puisi yang
Puisi.

Sendika Gusti
Bersabdalah
Hamba siap menuliskannya.

Agustus 2002

10.  Zona @ Tsunami
Novel remaja karya Dewie Sekar diterbitkan pertama kali oleh Gramedia Pustaka Utama September 2005, tebal 392 halaman, dan sudah beberapa kali cetak ulang. Bukti bahwa di samping teenlit, pasar buku fiksi Indonesia juga diramaikan oleh chicklit dengan cerita dan sasaran pembaca lebih dewasa. Gramedia Pustaka Utama memberi label ”Metropo” untuk jenis itu. Satu di antaranya, Zona @ Tsunami, novel pertama dari trilogi karya Dewie Sekar. Yang menarik, selain cetak ulang, novel ini menunjukkan perbedaan yang amat berarti dari karya chicklit yang lain. Tak hanya bercerita tentang kehidupan ”glamor” orang-orang muda metropolitan, tetapi juga kepekaan dan kepedulian sosial mereka. Latar Aceh yang baru saja tersapu tsunami menjadi nilai tambah novel ini.
Kisahnya berawal dari saling taksir antara Mutiara yang copy writer dan Zona yang art director di perusahaan periklanan yang sama di Jakarta. Meski keduanya saling naksir, masing-masing sok jaim (jaga image). Mutia selalu uring-uringan menghadapi Zona yang selengekan, sedangkan Zona sering jengkel dengan sikap Mutia yang super jutek. Kebetulan menjelang akhir tahun 2004, LSM tempat Zona menjadi anggota gerakan pelestarian alam menugasinya untuk menyelidiki suatu proyek yang sedang berlangsung di Taman Nasional Gunung Leuser, Nangroe Aceh Darussalam. Zona pun pergi ke Banda Aceh. Namun, sebelum dia melanjutkan perjalanan menuju Leuser, tsunami datang menerjang. Zona lenyap tanpa kabar, tanpa jejak.
Mutia yang selama ini ”jaga jarak” harus mengakui kehilangan Zona. Kemudian timbullah semangat dan tekad bulatnya berangkat ke Banda Aceh yang porak poranda. Dia pun gigih melacak jejak, bahkan sampai mengais-ngais tumpukan jenazah untuk menemukan Zona. Namun, selama di sana, tak ditemukan lelaki yang diam-diam telah merebut hatinya itu. Dalam pencarian yang mengharu biru, Mutia bertemu dengan Dokter Sakti. Ketegarannya telah menumbuhkan simpati ahli bedah muda yang rela putus dari pacar demi menjadi ”relawan abadi” bagi korban tsunami itu.
Tepat di pusat bencana, Sakti berjuang membunuh rasa cintanya dan justru membantu Mutia untuk mencari Zona. Pencarian makin pelik bukan hanya karena tak jelas Zona telah mati, hilang, atau masih hidup, melainkan juga karena muncul sosok lain yang sangat mirip dengan Zona. Bahkan, sejak kemunculan sosok itu, banyak yang menginformasikan kepada Mutia bahwa Zona masih hidup. Kemudian diketahui, dia bukan Zona, melainkan Ari—saudara kembar Zona yang datang ke Aceh untuk menolong Zona.
Suatu ketika Sakti bertemu Zona, namun Zona yang berbeda. Zona yang sakit, Zona yang bersembunyi, Zona yang tak mau segera bertemu Mutia, meski sangat ingin. Mutia marah, namun akhirnya bisa memahami bahwa yang dibutuhkan Zona adalah keluarga inti, ibu dan saudara kembarnya, Ari. Pintu bagi hubungan Sakti dan Mutia pun terbuka.

®  Daftar Buku Terlarang Tahun 1966
No.
Pengarang
Judul Buku
Penerbit
  1.  
  2.  
  3.  
  4.  
  5.  
  6.  
  7.  
  8.  

  1.  

  1.  
  2.  
  3.  
  4.  

  1.  
  2.  
  3.  
  4.  
  5.  
  6.  
  7.  
  8.  
  9.  
  10.  
  11.  
  12.  
  13.  
  14.  
  15.  
  16.  
  17.  

  1.  
  2.  
  3.  
  4.  
  5.  
  6.  
  7.  

  1.  
  2.  
  3.  
  4.  
  5.  
  6.  
  7.  
  8.  
  9.  
  10.  
  11.  
  12.  
  13.  
  14.  
  15.  
  16.  
  17.  
  18.  
  19.  
  20.  
  21.  
  22.  

Agam Wispi
Agam Wispi
Agam Wispi
Agam Wispi
Bakri Siregar
Bakri Siregar
Bakri Siregar
Bakri Siregar

F. L. Risakota

Hadi
Hadi
Hadi S.
Hr. Bandaharo

Hr. Bandaharo
Hr. Bandaharo
Jubar Ajub
Klara Akustia
Pramoedya (*)
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya

Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Pramoedya
Rijono Pratikno
Rijono Pratikno
S. Anantaguna

S. Rukiah
S. Rukiah
S. Rukiah
S. Rukiah
S. Rukiah
Rumambi dkk.
Sobron Aldit
Sobron Aldit
Sugiarti Siswadi
Sobsi
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Utuy T. Sontani
Zubir A.A.
Sahabat
Nasi dan Melati
Yang Tak Terbungkam
Matinya Seorang Petani
Ceramah Sastra
Jejak Langkah
Saijah dan Adinda
Sejarah Kesusasteraan Indonesia Modern
Penyair dan Perdamaian

Di Persimpangan Jalan
Yang Jatuh dan Yang Tumbuh
Tanah Tersayang
Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih
Dari Bumi Merah
Sarinah dan Aku
Siti Jamilah
Rangsang Detik
Perburuan
Subuh
Percikan Revolusi
Keluarga Gerilya
Mereka yang Dilumpuhkan
Di Tepi Kali Bekasi
Bukan Pasar Malam
Cerita dari Blora
Midah si Manis Bergigi Emas
Korupsi
Gulat di Jakarta
Cerita dari Jakarta
Sekali Peristiwa di Banten Selatan
Cerita Calon Arang
Panggil Aku Kartini Saja I
Panggil Aku Kartini Saja II
Hoakiau di Indonesia
Api
Si Rangka
Yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah
Kejatuhan dan Hati
Tandus
Kisah Perjalanan si Apin
Joko Tingkir
Teuku Hasan Johan Pahlawan
Bukit 1211
Pulang Bertempur
Derap Revolusi
Sorga di Bumi
Pita Merah
Suling
Bunga Rumah Makan
Tambera
Orang-orang Sial
Awal dan Mira
Si Kabayan
Sang Kuriang
Selamat Jalan Anak Kufur
Si Sapar
Si Kempeng
Manusia Kota
Lagu Subuh

Lekra, Jakarta 1959
Lekra, Jakarta 1959
Lekra, Jakarta 1959
Lekra, Jakarta 1962
Pustaka Bali, Medan 1952
Balai Pustaka, 1954
Sastrawan, Medan, 1954
Akademi Bahasa dan Sastra

Komite Perdamaian Jakarta 1959
Purwoko, Jakarta

SPD Lekra Jatim, 1963
Pembaruan, Jakarta 1958

Pembaruan, Jakarta 1963
Central Courant, Medan
Lekra, Jakarta 1960
Pembaruan, Jakarta 1957
Balai Pustaka, Jakarta 1950
Pembangunan, Jakarta 1950
Gapura, Jakarta 1950
Gapura, Jakarta 1950
Pembangunan, Jakarta 1950
Balai Pustaka, Jakarta 1951
Gapura, Jakarta 1951
Balai Pustaka, Jakarta 1952
Nusantara, Jakarta 1952
Nusantara, Bukittinggi 1961
Duta, Jakarta 1957
Grafika, Jakarta 1957
Jawatan, Penempatan Tenaga Kementrian PUT
Balai Pustaka, Jakarta 1957
Nusantara, Bukittinggi 1962
Nusantara, Bukittinggi 1962
-
Balai Pustaka, Jakarta 1951
Pembangunan, Jakarta 1958
Lekra, Jakarta 1962

Balai Pustaka, Jakarta 1950
Balai Pustaka, Jakarta 1950
Grafika, Jakarta
Balai Pustaka, Jakarta 1962
Grafika, Jakarta 1957
Lekra, Jakarta 1959
Lekra, Jakarta 1959
Jakarta 1962
Lekra, Jakarta 1960
Sobsi, Jakarta 1959
Balai Pustaka, Jakarta 1948
Balai Pustaka, Jakarta 1949
Balai Pustaka, Jakarta 1949
Balai Pustaka, Jakarta 1951
Balai Pustaka, Jakarta 1952
Lekra, Jakarta 1959
Balai Pustaka, Jakarta 1959
Balai Pustaka, Jakarta 1963
Sadar, Jakarta 1964
Sadar, Jakarta 1965
Balai Pustaka, Jakarta 1961
Pembaruan, Jakarta 1959







Tidak ada komentar:

Posting Komentar