Tatkala riwayat dinasti Majapahit dikhatam dengan masuknya Islam dan berdirinya kerajaan Demak. Maka porak-porandalah kerajaan itu, sirna ilang kertaning bumi, di abad ke-14 M. Imperium malang itu, yang kini tilasnya bisa disambangi di Trowulan Mojokerto, nyaris hanya meninggalkan segelintir cecandi, artefak yang kabur, dan arca-arca terlantar yang kerap dijarah orang. Setelah itu kasultanan Demak berdiri pada abad ke-16 M. Ada dua naskah Jawa Islam yang ditulis pada zaman Demak ini, yaitu Het Boek van Bonang dan Een Javaans Geschrift de 16e Eew (semacam Primbon Jawa abad ke-16 M).
Menurut Simuh, Het Boek Van Bonang berisi “pitutur Syaikh Bari”; di mana ajaran sufisme ortodoks bersabung-tarung dengan wilayah legal formalistik Syariah. Dalam naskah kuno lain, H.M. Rasyidi membikin satu penelitian kritis tentang Serat Gatoloco dan Serat Darmogandul yang mengisahkan sengkarut kronik masa peralihan dari Majapahit ke Demak. Dan Poerbatjaraka menguatkannya dalam bukunya Kapustakan Jawi yang menggambarkan situasi transisi ini: Dilalah kersaning Allah, majengipun agami Islam wonten ing tanah Jawi punika kasarengan jaman ura-uru ing salebeting kerajaan Majapahit, satemah suda kekiyatanipun, wasana risak babarpisan. Samangke…wong Jawi saya kathah ingkang lumebet agami Islam. Intinya, dalam huru-hara di Majapahit — terutama pada saat terjadinya perang Paregrek (1400-1402 M) antara Prabu Wikramawardana dengan Bhre Wirabumi — dan mulai meluasnya pemeluk agama Islam yang dibawa para muballigh dari tlatah Arabia dan Gujarat, perlahan-lahan, makin terkikislah kerajaan Hindu-Buddha tersebut.
Nyatalah saat itu peradaban anyar benar-benar mulai dibentangkan. Dan kian mustahil pula membendung interaksi budaya antara Islam dan Jawa. Saat itulah para wali menggelar daya kreasinya dalam berdakwah dengan berbagai macam cara. Semisal Sunan Kalijaga dengan seni wayangnya. Sunan Bonang dengan gamelan bonangnya. Bahkan Sunan Giri Kedaton, sebagai wujud apresiasinya akan dialektika Islam murni dengan mistik Jawa, menulis Boekoe Siti Jenar Ingkang Toelen (Tan Khoen Swie, 1931, Kediri). Anggitan ini ditulis Sang Sunan pada 1457 M.
Waktu terus bergerak menderas. Tokoh demi tokoh muncul silih berganti. Tragedi dan krisis sosial serta kepemimpinan saling menelikung, menjegal, dan menayangkan ragam cerita yang mengharu-biru dan memilukan. Hingga pada masa Sultan Agung Mataram (1613-1645 M), atas nama ikhtiar untuk mengekalkan kekuasaan kerajaan Islam, ia membikin proyek raksasa dengan menitahkan para pujangganya untuk menulis sejarah Jawa (Babad Tanah Jawi). Pengukuhan legitimasi kraton lewat budaya tulis ini sekaligus merupakan sepak-tanding terhadap tekanan bayang-bayang kolonial Belanda (1619 M). Usaha ini terus berlanjut selama rentang seratus lima puluh tahun hingga titimangsa terjadi perpecahan kerajaan Mataram (1755 M) yang melahirkan kasunanan Surakarta di bawah Susuhunan Paku Buwana III dan kasultanan Yogyakarta di bawah Hamengku Buwana I.
Sementara pada 1814 M lahir beberapa karya kapujanggan semisal Serat Centini (12 jilid) yang ditulis oleh sejumlah pujangga kraton Surakarta yang dipimpin oleh KGP. Adipati Anom Amengkunegara III, putra mahkota Sunan Paku Buwana IV. Serat ini disusun berdasarkan kisah pengembaraan mistik putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh menantu sultan Agung, Pangeran Pekik dari Surabaya. Demikian pula karya R. Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873 M) seperti Suluk Saloka Jiwa, Serat Kalatida, Paramayoga, Serat Wirid Hidayat Jati, dan lain-lain. Konon, ia disebut sebagai pujangga penutup lantaran sepeninggal Ronggowarsito, raja tidak lagi mengangkat seorang pujangga untuk membabarkan pikiran-pikirannya. Tafsir lain mewedarkan, gelar pujangga pungkasan ini sebagai bagian dari mitos untuk melegitimasi jalur keislaman Ronggowarsito. Sebab gelar ini juga berarti penegasan ihwal Muhammad sebagai nabi terakhir.
Demikian pula pada 1892 M, Kanjeng Raden Adipati Suryakusuma (pensiunan Bupati Semarang) juga menggubah sebuah narasi monumental berumbul Serat Cebolek. Serat ini terdiri dari tiga puluh satu syair dalam gaya macapat. Tujuh kisah pertama memuat cerita tentang Haji Ahmad Rifa’i, dan dua puluh empat sisanya berkisah soal Haji Mutamakkin. Serat ini menuturkan sekaligus mengisyaratkan kepada para ulama atau pemburu kebenaran agar tidak meremehkan aturan Syariah dengan tendensi laku mistik personal yang kerap terkesan sebagai bentuk perlawanan “kasta pinggiran” yang mengabaikan pranata sosial.
Tradisi literasi ini di masa selanjutnya memantik kegairahan dan etos baru untuk mengkaji ribuan naskah Jawa kuno semacam itu. Menurut Kuntara Wiryamartana, inilah sebuah gerakan ”renaisans sastra klasik”. Bagi peneliti semacam T.E. Behrend dalam studinya, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Museum Sonobudoyo Yogyakarta (Djambatan, 1990, Jakarta), menyebutkan ada 1350 naskah Jawa kuno yang meliputi kajian bahasa, kesusastraan, sejarah, linguistik, dan kebudayaan. Untuk mengerjakan proyek raksasa ini T.E. Behrend tidak sendirian. Dia bersama satu tim riset yang terdiri dari Alan H. Feinstein, Banis Isma’un, Kartika Setyawati, R.M. Soetanto, Sri Retnasakti Mulya, R.M. Sutatmo, dan Yakobus Mulyadi. Seribuan naskah ini belumlah seberapa jika seumpama digabungkan dengan puluhan ribu naskah kuno di Riau (yang 20-an tahun silam terjadi jual-beli ilegal antara orang setempat dengan sejumlah oknum dari Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Baca: majalah Tempo, 23 Juli 2006). Belum lagi sejumlah naskah raksasa lain seperti La Galigo dari Sulawesi, dan masih banyak lagi. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka warisan berlimpah ruah ini akan lenyap, dan identitas bangsa semakin pudar.
Sejatinya para javanolog dahulu seperti Brumund, A.H. John, van den Berg, Hurgronje, van Ronkel, Rinkes, Schrieke, Pigeaud, Hendrik Kraemer, Drewes, Pijper, R.A. Jayaningrat, Sartono Kartodirjo, Soebardi, dan Slamet Mulyana, misalnya, merupakan sederet pengarang dan peneliti yang getol mengkaji khasanah kebudayaan Jawa dan Islam.
Sejak Clifford Geertz tiada, Islam dan Jawa masih saja menguarkan hawa gaibnya. Terbukti Mark R. Woodward telah melakukan anti tesis terhadap Geertz, di tahun 1980-an. Dia berkesimpulan menolak simplifikasi sinkretisme antara Islam dan Jawa. Yang ada hanyalah varian Islam, sebagaimana Islam Arab, India, atau Maroko. Walhasil, pembacaan perihal Jawa, Islam, juga naskah kuno, sampai kapan pun, tetaplah menyisakan sekerumun persoalan. Tapi, di balik rahasia lain; di situlah terhampar sejenis “godaan terbesar” akan obsesi intelektualisme manusia yang tanpa akhir.
Beberapa artikel tentang kajian naskah kuno bisa diakses di sini --> http://nidafadlan.wordpress.com/category/filologi-naskah-kuno/
BalasHapusSalam
terimakasih :)
BalasHapusterimakasih :)
BalasHapus