Rabu, 19 Januari 2011

OBJEK


Kesusasteraan Indonesia Kontemporer (tm-2)Ò


1.      Objek Material: Sastra Indonesia Mencari Arah
Yang dimaksudkan dengan ‘arah’ dalam pembicaraan ini adalah hubungan langsung atau tidak langsung antara karya sastra sebagai sistem simbol dengan sistem sosial yang melatarbelakanginya, dalam artian ketergantungan dan ketidaktergantungan di antara kedua entitas tersebut.

Menurut Kuntowijoyo, ada beberapa arah perkembangan sastra Indonesia:
a.       Sastra panglipur
Sastra jenis ini hadir pada saat muncul kesadaran untuk menggantikan sastra klasik dengan sastra modern yang ditandai dengan cita-cita untuk menampilkan kisah-kisah yang “betoel soeda kedjadian” sebagai bentuk pernyataan yang mengoposisikan diri dengan sastra mitologis. Karya sastra ditandai dengan kisah-kisah keseharian, tidak lagi tentang fantasi dengan raja-raja dan kisah-kisah yang luar biasa. Naturalisme menggantikan supernaturalisme sastra klasik. Sastra modern ini dapat dilihat sebagai pernyataan simbolik kelas sosial baru, kelas menengah, yang diberkahi dengan pendidikan umum. Berbeda dengan sastra klasik yang mengaku diri sebagai sumber dari kebijaksanaan, sastra baru itu tidak mengaku apa pun kecuali sebagai hiburan, panglipur. Pada fase ini kelas menengah yang baru muncul belum ‘sadar diri’

b.      Sastra simtomatik
Sastra yang semata-mata melukiskan tanpa menyatakan sikap pada sistem sosial, sastra yang sekadar menyajikan gejala-gejala sosial. Jadi, sastra berfungsi sebagai wahana konfirmasi terhadap kenyataan-kenyataan sosial. Sastra jenis ini muncul ketika pengarang sudah pandai mulai melihat masyarakat dari dekat dengan mata lebih tajam. Mereka melihat perubahan-perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakatnya dan mencoba memotretnya dengan kesadaran bahwa sastra adalah strukturasi dari pengalaman. Marah Rusli dalam Siti Nurbaya berhasil mengungkapkan sebuah dunia yang sedang berubah di Sumatera Barat dengan kecermatan seorang ilmuwan sosial. Demikian pula Abdul Muis dalam Salah Asuhan mengungkapkan perbenturan antara nilai lama dengan nilai baru, tetapi para pengarangnya tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka melihat gejala-gejala tetapi mereka belum dapat membaca ke arah mana arah perubahan gejala-gejala tersebut.
Secara sosiologis sastra simtomatik menunjukkan kesadaran kelas menengah yang sudah mendapat tempat dalam ruang sosial, tetapi belum dalam sistem simbol sosial. Kelas sosial lama, dengan tanda-tanda kebangsawanan masih sangat kuat berakar dalam kesadaran sosial masyarakat.

c.       Sastra Diagnostik
Sastra yang menganalisa masyarakatnya dan menyatakan pendapatnya secara sadar. Sastrawan mencoba merekayasa masyarakatnya melalui sistem simbol yang ditawarkannya. Mempercayai bahwa sistem simbol sebagai “gerakan sukma” menjadi penggerak jalannya sejarah.
d.      Sastra Dialektik
Sastra yang menjadi kritik sosial, sebagaimana ilmu-ilmu sosial yang mencoba melakukan analisis dengan penuh perlawanan terhadap masyarakatnya. Sistem simbol dan dan sistem sosial dipertentangkan. Sastra menjadi antitesis terhadap sistem sosialnya. (Belenggu, Atheis, Kapai-Kapai dll)
Lekra dan Manifes Kebudayaan menjadi pelopor dan sekaligus ikon jenis sastra ini dengan ‘warna’ sastra sesuai ideologi masing-masing. Jenis sastra dialektik mulai menunjukkan pengendapannya sejak tahun 70-an ketika banyak pengarang menulis mengenai perubahan-perubahan sosial yang terjadi di daerah-daerah. Warna lokal yang dikemukakan dalam karya-karya Putu Wijaya, Hariyadi S Hartowardoyo, Gerson Poyk, Sinansari Ecip, Aspar, Korrie L Rampan, Chairul Harun, Umar Kayam, Linus, dan sebagainya mencoba menawarkan suasana baru dalam sastra Indonesia.

e.       Sastra Alternatif
Sastra yang mencoba membebaskan diri sebagai sistem simbol dari masyarakatnya. Ditandai dengan munculnya sastra yang bersifat antiintelektualisme (Iwan, Putu, Budi) yang mencoba membangun sastra sebagai alternatif, suatu dunia yang otonom, tidak mengikuti aturan-aturan logika sosial. Jika sebelumnya pengarang melakukan kritik sosial, sekarang mereka menolak realitas sosial itu sendiri, seolah-olah kemapanan sosial tidak mempunyai keabsahan. Ketidakpercayaan terhadap realitas ini muncul ketika sistem sosial dan sistem nilai tidak lagi koheren. Pengarang mengaspirasikan masyarakat yang terasingkan dalam proses teknologisasi (primitivisme Sutardji, urakan-nya Darmanto, puisi mistik Abdul Hadi, dan Danarto dalam cerpen yang nyata antiintelektualisme)

2.      Objek Formal: Dari Studi Teks ke Studi Wacana Budaya
Merupakan pendekatan yang menunjukkan pergeseran yang berbalik arahnya dari paradigma klasik romantis Abrams, yakni dari perhatian pada teks sebagai sistem yang otonom menuju pada kaitan antara sastra dengan konteks budaya yang melingkupinya.

Dalam perkembangannya, teori-teori sastra mengikuti dua kecenderungan:
  1. Kecenderungan tekstual,
yakni teori-teori yang merespon dan mendobrak teori-teori objektif (new criticism, formalism, strukturalism), tetapi tetap memakai sebagai kerangka acuannya konsep-konsep yang digagas oleh strukturalisme. Teori-teori yang masuk dalam kelompok ini adalah teori dekonstruksi, teori psikoanalisa Lacan, feminisme Perancis yang dikembangkan Julia Kristeva, Helene Cixous dan lain-lainnya yang merevisi Lacan, serta teori wacana yang dikembangkan Foucoult

  1. Kecenderungan politis/sosiologis.
yakni yang menerapkan teori-teori mutakhir dalam wilayah yang lebih luas, yakni yang melihat sastra dalam kaitannya dengan berbagai dinamika sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Termasuk di dalamnya adalah teori-teori neomarxis, teori poskolonial, new historicism, kajian budaya, feminisme yang menghubungkan permasalahan feminis dengan masalah ras, etnis dan kelas, dan teori wacana Edward Said.

Topik utama dari teori-teori poststrukturalis adalah persoalan redefinisi Teks, Pengarang, Pembaca, dan Kenyataan!


Ò Disarikan oleh Puji Karyanto untuk mahasiswa yang menempuh mata kuliah Kessusastraan Indonesia Kontemporer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar