Rabu, 19 Januari 2011

ESTETIKA RESEPSI




Resepsi dapat diartikan sebagai “penerimaan”, “respon”, atau “tanggapan”. Resepsi sastra berarti tanggapan “pembaca” (penikmat karya sastra).    Kehidupan historis sastra atau karya sastra tidak mungkin ada tanpa partisipasi aktif penerimanya.  Melalui proses mediasi (penjembatan) karya sastra masuk ke dalam horizon pengalaman yang selalu berubah dari penerimaan sederhana menjadi pemahaman yang kritis, dari penerimaan pasif menjadi penerimaan aktif, dari norma-norma estetik yang telah dimilikinya menjadi produksi (karya sastra) baru yang mendominasi.
Hubungan antara karya sastra dengan pembaca memiliki nilai estetik sebaik pengertian (nilai) historisnya.  Pengertian estetik terletak dalam fakta bahwa penerimaan pertama sastra atau karya sastra oleh pembaca melibatkan pengujian nilai estetiknya yang dibandingkan dengan sastra atau  karya-karya sastra yang telah dinikmatinya.  Dalam hal ini pengertian historis adalah bahwa pemahaman penikmat sastra pertama akan didukung dan diperkaya dalam mata rantai penerimaan dari generasi ke generasi; dalam hal ini makna historis sastra atau karya sastra itu akan dapat ditentukan dan nilai estetiknya akan dijelaskan.
Berdasarkan premis di atas, pertanyaan tentang bagaimana sejarah sastra secara metodologis diberi dasar dan ditulis kembali, dapat dijelaskan dalam tujuh tesis  yang     dikemukakan   Hans    Robert   Jauss  (dikenal   dengan    sebutan   7 Tesis Jauss) berikut ini.
1.      Pengalaman Pembacaan
2.      Horizon Harapan
3.      Jarak Estetik
4.      Semangat Zaman
5.      Rangkaian Sastra
6.      Perspektif Sinkronis – Diakronis
7.      Sejarah Sastra dalam kerangka Sejarah Umum


Tesis 1: Pengalaman Pembacaan
“ A literary work is not an object that stands by itself and that offers the same view to each reader in each period.  It is not a monument that monologically reveals its timeless essence.  It is much more like an orchestration that strikes ever new resonance among its readers and that fress the text form the material of the words and brings it to acontemporary existence”

Sastra atau karya sastra tidak memberi pandangan yang sama bagi tiap penikmat sastra dalam setiap periode. Sastra atau karya sastra bukanlah monumen yang secara monologis menyatakan esensi (makna) sepanjang masa.  Sastra atau karya sastra lebih mirip sebagai orkestrasi yang selalu memberi resonansi-resonansi baru di antara para penikmatnya dan membebaskannya dari materi kata-kata dan membawa pada keberadaan kontemporer (kekinian).
Pembaharuan sejarah sastra menuntut pembuangan prasangka objektivisme historis dan dasar-dasar estetika karya sastra dan penggambaran kenyataan yang tradisional.  Kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta sastra yang dibangun oleh post festum, tetapi pada pengalaman sastra sebelumnya oleh para penikmat sastra.
Koherensi sastra atau karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dimediasikan (dijembatani) dalam horizon-horizon harapan pengalaman sastra dan horizon harapan penikmat sastra, kritikus, dan pencipta sastra yang lebih kemudian. Mungkin tidaknya memahami dan menggambarkan sejarah sastra dalam kesejarahan yang unik bergantung pada dapat tidaknya “horizon-horizon harapan” dinyatakan.



Tesis 2:  Horizon Harapan
“The analyisis of the literary experience of the reader avoids the threatening pitfalls of psychology if it describes the reception and the influence can of a work within the objectivifiable system of expectations that a rises for each work in the historical moment of its appearance, from a pre-understanding of the genre, from the form and themes of already familiar works, and from the opposition between poetics and practical language”.

Analisis pengalaman sastra para penikmat sastra menyisihkan perangkap-perangkap psikologi yang mengancam, jika analisis tersebut mendeskripsikan penerimaan (resepsi) dan pengaruh karya sastra dalam sistem-sistem harapan yang dapat dinyatakan yang muncul untuk masing-masing dalam momen historis kemunculannya, dari pemahaman genre sebelumnya, dari bentuk dan tema karya-karya sastra yang telah diakrabinya, dan dari perbedaan antara poetika dan bahasa praktis.
Suatu karya sastra tidak pernah tampil sama sekali baru dalam kekosongan informasi, tetapi mengandung saranan yang mengarahkan penikmat sastra.  Karya sastra mempengaruhi penikmatnya dengan pemberitahuan melalui tanda-tanda yang mudah dan sulit, ciri-ciri yang akran, atau sindiran yang tidak langsung.  Semuanya itu akan membangkitkan memori tentang apa yang telah (pernah) di “baca”nya (dinikmatinya), membawa penikmat sastra ke dalam tingkah laku emosional yang khusus, yang pada awalnya menimbulkan harapan-harapan pada bagian tengah dan akhirnya, dan kemudian dapat dipertahankan keutuhannya atau dibalik, diorientasikan kembali, atau bahkan secara ironis disempurnakan dalam “pembacaan” itu sesuai dengan aturan-aturan jenis sastranya. 

Tesis 3: Jarak Estetik
“The horizon of expextations of a work allows one to determine its atristic character by the kind and the degree of its influence on a presupposed audience.  If one characterizes as aesthetic distance the disparity between the given horizon of expectations and the appearance of a new work, whose reception can result in a chage of horizons through negation of familiar asperiences or through raising newly articulated experiences to the level of consciousness, then this aesthetic distance can be objectified historically along the spectrum of the audience’s reactions and criticism’s judment.

“Horison harapan” sastra atau karya sastra menunjukkan salah satu cara untuk menentukan ciri-ciri artistiknya dengan macam dan tingkat pengaruhnya pada pembaca yang ditentukan.  Jika seseorang mengkarakterisasikan perbedaan antara “horizon harapan” dengan pemunculan karya baru sebagai jarak estetik, maka penerimaannya dapat menghasilkan “perubahan horizon-horizon” melalui negasi terhadap pengalaman-pengalaman yang telah dikenalnya, atau melalui pengangkatan pengalaman-pengalaman barunya pada tingkat kesadaran.  Dengan demikian, jarak estetik dapat diobjektivasikan secara historis sepanjang spektrum reaksi-reaksi pembaca dan penentuan kritik (keberhasilan yang spontan, penolakan atau shock, penyetujuan di beberapa bagian, pemahaman bertahap atau ditunda).
Jarak estetik merupakan jarak antara horison harapan dan karya, antara pengalaman estetik sebelumnya dengan perubahan horison harapan.    Semakin kecil jarak estetik suatu karya baru dengan horison harapan yang ditimbulkan dari karya sebelumnya, maka nilai sastra dari karya tersebut semakin rendah, begitu pula sebaliknya.

Tesis 4:  Semangat Zaman
The reconstruction of the horizon of expextation, in the face of which a work was created and received in the past, enables one on the other hand to pose questions that the text gave an answer to, and thereby to discober how the contempiorary reader could have viewed and understood the work.  This approach corrects the mostly unrecognized norms of a classicist or modernizing understanding of art, and avoids the circular recourse to a general ‘spirit of age’.

Rekonstruksi horison harapan, dalam hal ini karya sastra, dicipta dan diterima pada masa lampau, menyebabkan seseorang bertanya kembali tentang teks itu, dan mencoba menemukan bagaimana pembaca saat ini  memandang dan memahami karya itu.  Pendekatan ini membenarkan norma-norma klasik yang   tidak dikenal atau pemahaman sastra modern, dan mengabaikan jalan lain pada “semangat zaman”.
Metode resepsi historis tidak dapat mengesampingkan pemahaman karya sastra pada waktu lampau.  Ketika pengarang tidak dikenal, maksudnya tidak dapat diketahui juga, hubungannya dengan sumber-sumber dan model-model hanya secara tidak langsung dapat diperoleh.  Pertanyaan tentang fisiologis tentang bagaimana sastra itu selayaknya dipahami, sesuai dengan maksud dan dimensi waktunya, dapat dijawab dengan baik jika karya sastra tersebut dipertimbangkan dalam perlawanannya terhadap latar belakang karya itu yang diharapkan oleh pengarangnya agar dipahami oleh pembacanya, baik secara eksplisit maupun implisit.

Tesis 5:  Rangkaian Sastra
The theory of the asthetics of reception not only allows ane to conceive the meaning and form of literary work in the historical unfolding of it understanding.  It also demands that one inserts the individual work into ‘literary series’ to recognisze its historical position and significance in the context of the experience of literature.  In the step from a history of the reception of works to an eventful history  of literature, the latter manifests itself as a process in which the passive reception is on the part of authors.  Put anotherway, the next work can solve formal and moral problems left behind by the last work and present new problems in turn.

Teori estetika resepsi tidak hanya memandang makna dan bentuk karya sastra dalam penjelasan historis pemahamannya.  Teori ini juga menuntut kerja individual sebagai bagian dari jajaran kerja lainnya, untuk mengetahui arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman sastra.  Di dalam tahapan dari sejarah resepsi sastra ke sejerah sastra, yang kedua ini memanifestasikan diri sebagai propses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang.  Karya (pemahaman) berikutnya dapat menyelesaikan problem-problem moral dan formal yang ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan dapat menghadirkan problem baru bagi pemahaman berikutnya.

Tesis 6:  Perspektif Sinkronik-Diakronik
The achievments made in linguistics throug the distiction and methodological interrelation of diacronic and syncronic analysis are the occasion for overcoming the diacronic perspective-previously the only one practiced – in art history as well.

Hasil-hasil yang dicapai dalam linguistik melalui perbedaan interelasi metodologis    analisis    sinkronis   dan    diakronis,     yaitu      pembenahan   atau  penyempurnaan observasi diakronis yang sampai sekarang menjadi metode yang biasa dalam studi sejarah sastra.
Perspektif sejarah sastra selalu menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya-karya baru dengan makna karya-karya terdahulu.  Perspektif ini juga mempertimbangkan pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga didapat sistem hubungan yang umum dalam karya sastra pada waktu tertentu.

Tesis 7:  Sejarah Sastra                           Umum
The task of art history is thus only completed when art production is not only represented syncronically and diachronically in the succession of its systems, but also seen as ‘special history’ in its own unique relationship to ‘general history’.  This relationship does not end with the fact that a typified, idealized, satiric, or utopian image of social existence can be found in the art of all times.  The social function of art manifests itself in its genuine possibility only where the art experience of the reader enters into the horizon of expections of his lived praxis, performs his understanding of the world, and thereby also has and effect on his sosial behavior.

Tugas sejarah sastra hanya terselesaikan apabila produksi sastra tidak hanya direpresentasikan secara sinkronik dan diakronik dalam suksesi sistemnya, namun juga dipandang sebagai “sejarah khusus” dalam hubungan unitnya dengan “sejarah umum”.  Hubungan tersebut tidak berakhir dengan fakta yang ditipekan, diidealkan, satirik, atau dengan citra utopia dari eksistensi sosial dari sastra di sepanjang jaman.  Fungsi sosial dari sastra  termanifestasi dalam kemungkinannya yang begitu unggul khususnya ketika pengalaman seni dari “pembaca” (penikmat seni)  memasuki cakrawala harapan dari praxisnya, menghayalkan pemahamannya tentang dunia dan sehingga juga memiliki efek pada perilaku sosialnya.

 Demikianlah beberapa pokok pemikiran Jauss yang disebut sebagai tujuh tesis.  Tujuh tesis ini diharapkan dapat memberikan suatu gambaran pendekatan yang sistematik terhadap kegiatan penulisan sejarah sastra.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar