Rabu, 19 Januari 2011

Raumanen



Pengarang : Marianne Katoppo
Publikasi    : Metafor Publishing, Jakarta, 2006

Sinopsis :
            Kisah Raumanen dimulai sejak perkenalannya dengan seorang lelaki bernama Monang. Raumanen adalah seorang gadis cantik, rajin, independent. Raumanen berasal dari Manado. Sedangkan Monang adalah seorang pemuda flamboyang yang doyan pesta bermobil sedan mewah mengkilap bermerek Impala. Monang berasal dari Batak.  Mereka berdua dipertemukan di kota Bandung tempat keduanya menuntut Ilmu di sebuah Perguruan Tinggi. Sejak awal masa kuliahnya, Monang telah menjadi salah satu tokoh dari gerakan mahasiswa. Maka tak heran jika Monang memiliki banyak teman dan dikenal dimana-mana apalagi dengan sikapnya yang selalu mendekati gadis-gadis kampus menjadikan reputasinya sebagai seorang pria sejati selalu dipertanyakan di seluruh penjuru kampus. Sedangkan Manen usianya lebih muda dibawah Monang karena keuletan dan kegigihannya ia berhasil menjadi salah satu pengurus di gerakan mahasiswa. Selain itu dengan parasnya yang cantik dan menawan ditambah dengan keberaniannya yang tidak pandang bulu membuatnya dikenal dikalangan mahasiswa. Baik dari kalangan mahasiswa senior maupun junior. Tabiat Monang yang tak pernah berhenti menggodai para gadis dilakukannya juga kepada Manen. Monang selalu engatakan kepada setiap mahasiswa yang ada di dekat Manen bahwa Manen adalah adiknya dan ironisnya banyak diantara mahasiswa itu percaya begitu saja sedangkan Manen hanya menanggapinya dengan gelak tawa. Namun lambat laun sikap Monang kepada Manen sudah mulai sedikit berani. Monang tidak hanya sekedar menggoda lagi namun sedikit demi sedikit terbit benih-benih suka kepada Manen dan Monang mulai memperhatikan Manen. Beberapa waktu kemudian diutarakannya perasaan suka itu kepada Manen dan tidak disangka Manen pun menerima perasaan itu dengan gembira. Dengan bergulirnya waktu, sikap Monang kepada Manen berubah menjadi hawa nafsu. Awalnya hanya memeluk dan mencium Manen saja namun hingga suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang akan dikenang hingga akhir hayat. Ya, lambat laun berita tersebar bahwa Manen hamil. Monang yang begitu mencintai istrinya bersemangat sekali mendengarnya. Monang berusaha keras mendapatkan pekerjaan dan mengumpulkan uang untuk membahagiakan Manen hingga akhirnya Monang mendapat fasilitas rumah dinas dari pimpinannya. Kabar baik itu disampaikannya kepada Manen. Dan Manen menyambutnya dengan gembira. Namun ditengah kegembiraannya itu, bencana mulai datang. Monang menyampaikan berita bahagia itu kepada ibunya dan memohon restu untuk menikah dengan Manen namun mendengar hal tersebut murkalah ibunya. Ibunya berniat menjodohkan Monang dengan wanita pilihan ibunya dengan alasan pria dari keluarga Batak harus menikah dengan wanita batak pula. Monang bersikukuh akan menikahi Manen dan tidak mempedulikan ibunya. Entah pada suatu hari tiba-tiba ibu Monang mendatangi rumah dinas milik Monang bersama dengan wanita yang akan dijodohkan dengan Monang. Beliau merubah semua dekorasi rumah itu yang telah ditata dengan indah oleh Manen dan Monang. Hingga pada akhirnya Manen merasakan keganjilan. Perutnya semakin membesar dan tak dapat disembunyikan lagi selain itu ia merasakan beberapa hari ini Monang sudah hamper tidak pernah mengunjunginya lagi. Dengan rasa penasaran dihantarkan oleh temannya dengan menggunakan mobil, sampailah Manen ke sebuah rumah sederhana yang nantinya akan ditinggalinya dengan Monang setelah menikah nanti. Namun sesampainya disana, riuh ramai suasana terjadi. Mobil berjajar, sepertinya sedang berlangsung sebuah pesta. Manen bertanya kepada seseorang yang kebetulan menjadi undangan pesta apa gerangan yang sedang berlangsung, dan yang ditanya menjawab nya dengan jawaban yang seakan meruntuhkan jiwa dan raganya. Katanya, pesta pernikahan Monang. Manen tak mampu membendung perasaan galaunya. Ia lantas mengajak temannya pergi dari situ tanpa mempedulikan Monang yang berlari-lari mengejar mobil yang mereka tumpangi. Tidak ada sepatah katapun terucap hanyalah aliran air mata yang menganak sungai dan beribu amarah serta kekecewaan. Manen begitu dirundung duka yang amat sangat mendalam. Berhari-hari ia mengurung diri did ala kamarnya bersama dengan kekeewaan yang tiada terbalas. Hingga suatu saat terbersit kenekatan dalam diri Manen. Ketidakmampuannya mengatasi perasaan dan menerima kenyataan menjadikannya menuju jalan pintas. Entah setan apa yang sedang merasuki pikiran Manen saat itu, ia tidak peduli suara Monang yang datang menjenguknya ataupun suara keluarganya yang membujuknya untuk keluar dari kamar. Tiba-tiba saja, ia mengiris pergelangan tangannya. Di tengah pergulatan maut, sepintas ia mendengar suara Monang, ibu dan bapaknya berteriak menjadi satu memanggil nama Manen tanpa Manen dapat berbuat apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar