Rabu, 19 Januari 2011

PELANGI BUDAYA


            Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan beragam budaya. Setiap wilayah anggota negara Indonesia memiliki potensi daerah yang berbeda-beda dan beragam. Masing-masing potensi baik seni dan tradisi memiliki keindahan dan nilai tersendiri. Keragaman inilah yang menjadikan Indonesia dikenal dan diperhitungkan di mata dunia dalam bidang pariwisata. Begitu ragamnya dan indahnya budaya Indonesia ini memiliki daya tarik sendiri bagi wisatawan dari berbagai daerah baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Ditambah lagi merujuk pada sejarah negara Indonesia bahwa dahulu kala di Indonesia pernah berdiri banyak sekali kerajaan-kerajaan yang tentunya menyimpan berbagai informasi dan peninggalan-peninggalan bersejarah. Bukti dari ada itu, dari tahun-ke tahun mulai ditemukannya peninggalan sejarah di berbagai tempat seperti di Kalimantan, Sumatra, Bali, Irian Jaya, Pulau Buru, Jawa Tengah, Yogyakarta dan salah satunya adalah Jawa Timur. Karena begitu banyaknya budaya di Indonesia ini membuat Pemerintah Pusat kesulitan untuk mengidentifikasinya satu persatu akhirnya pengelolaan dan identifikasi di serahkan pada pemerintah daerah masing-masing.
Semakin majunya kecanggihan tekhnologi semakin banyak sekali masyarakat berlomba-lomba untuk menyesuaikan gaya hidup mereka dengan berbagai macam kecanggihan tekhnologi. Mereka yang tidak bisa menyesuaikan dengan kemajuan tekhnologi dianggap kuno dan perlahan-lahan tersingkir secara tidak langsung dari komunitas yang dapat menyesuaikan diri tersebut. Keadaan itu memberikan dampak sosial yang cukup signifikan dan menimbulkan kecemburuan sosial. Namun yang lebih ekstrim lagi mempengaruhi sektor kebudayaan. Lambat laun masyarakat mulai meninggalkan dan tidak mau tahu mengenai peninggalan dan warisan para leluhur mereka. Mereka menganggap warisan kebudayaan itu merupakan dari masa lampau yang hanya di kenang saja akhirnya menjadikan budaya-budaya tersebut terbengkalai dan tak terurus. Apalagi dengan adanya Globalisasi Modern ini banyak sekali bermunculan gaya hidup baru yang menawarkan kecanggihan dan kemewahan. Seni tradisional tersaingi oleh tari-tarian modern seperti dance, disco, dan lain-lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Globalisasi adalah “Proses masuknya keruang lingkup dunia” sedangkan seni adalah “keahlian membuat sesuatu yang bernilai tinggi” dan tradisi adalah “adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat”. Jadi seni tradisi adalah wujud dari budaya yang bercita rasa tinggi yang telah menjadi kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang yang sampai sekarang masih dijalankan di masyarakat.
            Seni tradisional identik dengan ritual atau perayaan yang bersifat magis (menggunakan kekuatan gaib) dan adanya kepercayaan-kepercayaan yang masih dipegang teguh oleh masyarakatnya (mitos). Sedangkan hal itu dianggap kuno bagi masyarakat yang menyebut dirinya sebagai masyarakat modern. Namun hal itu tidak berlaku bagi masyarakat Banyuwangi, salah satu kabupaten yang terletak di timur Pulau Jawa. Bahkan salah satu media cetak edisi 83/VIII terbitan tahun 2006 menyebutkan bahwa Banyuwangi merupakan Surga Budaya di Timur Jawa karena begitu banyak dan beragamnya budaya yang dimiliki oleh Banyuwangi.  Lantas benarkah Banyuwangi benar-benar Surga Budaya?

BERAGAM BUDAYA DI KOTA SANTET
Banyuwangi, kabupaten yang memiliki 189 desa. Posisi Kabupaten Banyuwangi berada di koordinat 7    0  -43` sampai dengan 8   0  46` Lintang Selatan dan 113 0  53` sampai dengan 114     0   38` Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso.
Secara geografis wilayah Banyuwangi mempunyai nilai strategis di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, kelautan terutama di bidang pariwisata. Selain itu wilayah Banyuwangi berdekatan tepatnya berseberangan dengan Pulau Bali. Karena letaknya yang strategis ini menjadikan Banyuwangi menjadi tempat singgah bagi wisatawan asing yang akan melanjutkan perjalan ke Pulau Bali. Namun selain menjadi tempat singgah ternyata Banyuwangi memiliki daya tarik sendiri bagi wisatawan yang datang. Tak heran karena letaknya yang strategis inilah selain menjadi tempat singgah bagi wisatawan yang datang juga dijadikan tempat untuk tinggal. Secara demografis Banyuwangi didiami oleh beberapa etnis yaitu etnis Using, Jawa, Madura, Bali, Mandar, Arab dan Cina. Diantara etnis-etnis tersebut yang paling menonjol adalah etinis Using, Jawa dan Madura.
Banyak sekali potensi yang dimiliki oleh Banyuwangi di bidang kepariwisataan antara lain: Wisata Alam Taman Nasional (TN) Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri (Sukamade), Taman Hutan Kawah Ijen, Wana Wisata, Wisata Kebun, Wisata Budaya, Upacara Tradisi, Upacara Agama, Wisata Buatan dan Wisata Alam lainnya. Tidak hanya itu menurut data yang diperoleh dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi, Banyuwangi memiliki 30 kesenian dengan andalannya yaitu tari Gandrung, Barong dan Kendang-Kempul serta memiliki 20 adat tradisi dengan yang terkenal yaitu Seblang dan Kebo-Keboan.
Secara Historiografi, Banyuwangi dikenal sebagai wilayah Blambangan dengan rajanya yang gagah berani dan pantang menyerah bernama Raja Menakjinggo. Blambangan berasal dari kata “Balumbumbung” dan dari kata dasar lumbung yang berarti tempat atau gudang penyimpanan padi. Sampai saat inipun Kabupaten Banyuwangi masih tetap sebagai salah satu lumbung padi nasional di tanah air tidak hanya itu, Banyuwangi juga merupakan tempat penghasil ikan nomor dua di Indonesia.
Banyak orang mengenal Banyuwangi sebagai kota santet dan disalah artikan sebagai upaya untuk mencelakakan orang lain namun sebenarnya yang dimaksudkan sebagai santet di Banyuwangi adalah upaya menarik perhatian lawan jenis dengan menggunakan kekuatan gaib. Namun dewasa ini santet tidak hanya telah disalah artikan secara definisi saja melainkan telah disalah artikan juga secara fungsi dan tujuannya. Berikut cuplikan dari mantra santet yaitu ajian jaran goyang: “.....matek ajiku jaran goyang/sing tak seja tumeka/ Tak goyang batine .....(nama orang yang dituju diikuti nama ibunya)/tontok sejane nuruti marang aku/nurut saka kersani gusti Allah....” itu hanya sedikit dari cuplikan dari bait mantra ajianb jaran goyang. Namun tidak hanya ajian jaran goyang saja yang dimiliki kabupaten yang dipimpin oleh bupati wanita ini namun Banyuwangi dikenal sebagai kota Gandrung dengan tarian Gandrungnya yang menarik. Tarian Gandrung merupakan salah satu kesenian dari sekian banyak kesenian di Banyuwangi, konon ditujukan kepada Dewi Sri yang juga disebut sebagai Dewi Padi untuk ucapan syukur atas kesuburan yang diperoleh setelah becocok tanam. Banyuwangi memang dikenal sebagai daerah agraris. Sebagai bentuk ucapan syukur itulah masyarakat jaman dahulu mempersembahkan dalam bentuk tarian setelah musim panen tiba. Itulah kisah dari tari Gandrung. Gandrung merupakan tarian tradisional pada jaman Kerajaan Blambangan kuno dan kini Gandrung selalu ditampilkan dalam berbagai acara dan biasanya Gandrung ditampilkan sebagai tarian pembuka dalam suatu acara sebagai tarian untuk menyambut tamu atau yang dikenal dengan “Tarian Selamat Datang”.
Selain itu ada pula kesenian barong. Kata barong memiliki beberapa pengertian. Dalam bahasa sansekerta barong memiliki arti beruang, yakni berasal dari kata “B(h)arwang”. Selain itu barong berarti pula akar – akaran yang hidup didekat rumpun bambu, pertunjukan yang barwujud tiruan dari binatang buas. Melihat dari arti kata tersebut di atas, makna terakhir yang mengarah pada makna kesenian barong. Blambangan atau Banyuwangi memiliki beberapa barong, diantaranya adalah: Barong kemiren, Barong Prejeng, Barong Osing atau Blambangan. Adapun bentuk kesenian barong adalah kepala berbentuk raksasa yang besar, dengan mata melotot dan taringnya keluar. Kesenian barong merupakan seni teater tradisional. Ceritanya diambil cerita dari rakyat yang terkenal adalah Barong jakrifah yang mengisahkan perjuangan penduduk desa membuka areal hutan dan digunakan untuk areal pertanian untuk membuka tempat baru tersebut ia harus menghadapi makhluk – makhluk halus yang ada dihutan tersebut. Pementasan kesenian ini biasanya dimalam hari dan selesai di pagi hari. Pesan untuk melestarikan hutan selalu dimunculkan untuk para penonton dalam pertunjukan ini.
            Kendang kempul juga merupakan salah satu kesenian yang ada di Banyuwangi yang berupa seperangkat alat musik yang biasanya dipakai untuk mengiringi kesenian yang berupa tarian-tarian Banyuwangi seperti Tari Gandrung. Kendang kempul merupakan seni musik khas yang dimiliki Banyuwangi.
            Selain itu adat tradisi yang terkenal di wilayah Banyuwangi adalah Seblang dan Kebo-keboan. Seblang dan Kebo-keboan memiliki beberapa kesamaan yaitu suatu upacara atau ritual bersih desa yang diadakan setiap satu tahun sekali. Maksud daripada ritual bersih desa adalah membersihkan desa dari bencana selain itu membersihkan diri terutama hati dari segala pikiran-pikiran dan keinginan-keinginan yang tidak baik. Selain itu membersihkan harta yang telah kita peroleh dengan cara menyisihkan sebagian harta yang kita miliki untuk dikumpulkan menjadi satu lalu diwujudkan dalam bentuk makanan dan dibagikan kepada saudara-saudara kita di luar desa tersebut.
            Kesenian ritual Seblang banyak mengandung nilai filosofi tentang kehidupan, tentang kesuburan dan akulturasi dari berbagai pola dan prinsip kehidupan berbudaya. Ada dua macam tradisi Seblang yaitu Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan. Seblang Olehsari dimainkan oleh seorang gadis yang belum memasuki tahap pubertas, yang masih polos dan yang masih memiliki garis keturunan dengan penari-penari sebelumnya. Seblang Olehsari dilaksanakan 1 tahun sekali pada hari ke 7 setelah Hari Raya Idhul Fitri dan dimainkan selama 7 hari berturut dan dimainkan dalam keadaan tidak sadar. Sedangkan Seblang Bakungan dimainkan oleh seorang wanita yang telah menopause atau yang sudah tidak mendapatkan siklus menstruasi. Seblang Bakungan biasanya silaksanakan 1 tahun sekali satu minggu setelah Hari Raya Idhul Adha pada malam hari setelah Maghrib. Dari sisi kepenarian Seblang Bakungan dan Seblang Olehsari memiliki keunikan. Yang satu ditarikan oleh perempuan yang belum akil balik dan yang satu ditarikan oleh perempuan yang sudah menopause, ini menunjukkan betapa sungguh kesenian ini terkait dengan kesucian baik manusia yang baru terlahir kedunia maupun yang mulai mendekati Sang Pancipta.
            Kebo-keboan, sebuah upacara adat dari desa Alas Malang banyuwangi sudah mentradisi sejak abad 18. pada tahun 2006 Dinas Pariwisata Jawa Timur menganugerahi Budaya nenek moyang Alas Malang yang nilainya tak terbilang ini sebagai upacara adat terbaik Jawa Timur dengan gelar “The Most Standing Award”. Tradisi Kebo-keboan ini dilaksanakan setiap satu tahun sekali tepatnya pada bulan Suro (kalender Jawa) selama 3 hari berturut-turut. Awalnya, kebo-keboan ini diadakan untuk memohon turunnya hujan saat kemarau panjang, dengan turunya hujan berarti bercocok tanam segera bisa dilaksanakan. Menurut sesepuh desa setempat, Kebo-keboan pertama kali dikenalkan oleh seorang sesepuh Desa Alas Malang yang bernama Buyut Karti. Kala itu di Dusun Krajan ditimpa suatu bencana berupa kematian. Satu persatu warganya meninggal, Buyut Karti berusaha memecahkan masalah tersebut dan akhirnya memperoleh petunjuk melaksanakan ritual kebo-keboan. Setelah kebo-keboan digelar, musibah itu perlahan-lahan hilang dan wargapun merasa nyaman dan tenang akhirnya sebagai ungkapan syukur terhindar dari bencana dan atas hasil panen yang melimpah maka warga setempat melaksanakan ritual kebo-keboan tersebut setiap tahun.

PELANGI BUDAYA
            Masih banyak lagi seni tradisional yang dimiliki Banyuwangi dan dapat kita saksikan setiap tahunnya. Namun tanggal 18 Desember 2008 kemarin merupakan hari paling bersejarah bagi masyarakat Blambangan ini digelarnya Pelangi Budaya dalam rangka Hari Jadi Kota Banyuwangi yang 237. Menjelang peringatan Hari Jadi Kota Banyuwangi yang disingkat dengan Harjaba diselenggarakan berbagai kegiatan mulai dari pementasan seni tradisional, pameran lukisan hingga Pekan Olah raga dan Kesenian (Porseni). Digelar pula Lomba Kesenian Barong, Lomba Tari Gandrung, Pemilihan Jebeng Thulik Banyuwangi. Bersamaan dengan Harjaba itu digelar pula Festival Kesenian Kawasan Selatan (FKKS) yang diikuti oleh 9 Kabupaten di Kawasan Selatan Jawa Timur yaitu Banyuwangi, Malang, Trenggalek, Lumajang, Pacitan, Kediri, Tulungagung, Ponorogo, dan Jember. FKKS sendiri adalah suatu Festival yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur dalam melestarikan budaya Jawa Timur setiap tahunnya dan tahun ini merupakan tahun ke IV bagi FKKS dengan tuan rumah Kabupaten Banyuwangi yang diselenggarakan bertepatan dengan Harjaba ini juga merupakan sebuah kado istimewa di ultah Kabupaten Banyuwangi.
            Puncak dari pada acara Harjaba ini dilaksanakan pada tanggal 18 Desember di depan kantor Sekretariat Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi disepanjang jalan protokol yang dihadiri oleh Ibu Bupati beserta Bapak Wakil Bupati dan para Muspida dimulai pada pukul 13.00 WIB. Pawai Pelangi Budaya ini selain diikuti oleh masyarakat Blambangan sendiri juga diikuti oleh para peserta FKKS, mereka menampilkan kesenian daerah masing-masing untuk ikut memeriahkan acara Pawai Pelangi Budaya. Meski acara Pawai Pelangi Budaya ini sempat diguyur hujan mulai dari siang hingga sore hari namun acara ini tetap berlangsung meriah. Para peserta tetap menampilkan kesenian-kesenian mereka meskipun make up dan pakaian basah kuyup namun mereka tetap semangat. Selain diikuti oleh peserta FKKS, Pelangi Budaya ini juga berkolaborasi dengan Universitas Negeri Surabaya Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan Sendratasik, yang saat itu membawakan beberapa lagu daerah kontemporer dan peragaan cerita Perang Puputan Bayu yang menjadi ikhwal Hari Jadi Kota Banyuwangi. Pada Pelangi Budaya ini, para peserta FKKS menyuguhkan kesenian khas daerah mereka. Kabupaten Jember menampilkan JEFEN Patrol, Kabupaten Trenggalek menampilkan Turangga Yaksa, Kabupaten Lumajang menampilkan Laskar Lumajang, Kabupaten Blitar menampilkan Andhong, Kabupaten Pacitan menampilkan Tari Eklek, Kabupaten Tulungagung menampilkan Reog Kendang, Kabupaten Malang menampilkan Grebeg Sabrang, Kabupaten Ponorogo menampilkan Reog Ponorogo. Hadir pula undangan kita dari pulau seberang yaitu dari Jembrana Bali menampilkan Dasamuka.
            Kemeriahan dalam puncak Harjaba ini yang diisi dengan berbagai pertunjukkan kesenian daerah ini bertujuan untuk melestarikan seni tradisi dan kebudayaan yang ada di Banyuwangi agar semakin majunya tekhnologi budaya ini tidak semakin luntur melainkan semakin lestari dan menjadi seimbang dengan kecanggihan tekhnologi. Sesuai dengan tema Harjaba tahun ini “Dengan Hari Jadi Banyuwangi yang ke 237 kita lestarikan....” masyarakat Banyuwangi tidak ingin warisan nenek moyang yang telah dilaksanakan secara konstan ini hilang begitu saja karena budaya mencerminkan sebuah bangsa dan menjadi titik tolak perkembangan bangsa ini.
            Pada intinya Banyuwangi ditengah-tengah globalisasi yang modern selain berusaha untuk tetap uptodate Banyuwangi juga berusaha untuk tetap memberdayakan dirinya dan tidak lupa mengenai asal-usul dan aspek-aspek yang telah membuatnya lebih dikenal dikalangan umum. Karena dari aspek-aspek itulah Banyuwangi lahir, tumbuh, berkembang dan belajar menghadapi tantangan-tantangan yang akan selalu ada dan terus ada selama Banyuwangi masih ada dan Banyuwangi akan tetap ada sampai kapanpun. “HIDUP LARE OSING, JAYALAH BUMI BLAMBANGAN”


DAFTAR PUSTAKA

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi
Guide Hand Banyuwangi Calender Even 2008




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar