Rabu, 19 Januari 2011

RUANG PUBLIK “HABERMAS”




Jürgen Habermas (18 Juni, 1929, Düsseldorf) ialah seorang filsuf dan sosiolog. Dia paling dikenal dengan sebuah konsep ruang publik yang didasarkan pada teori dan praktek 'aksi komunikatif'. Karyanya, yang seringkali diberi label Neo-Marxisme, terfokus pada dasar-dasar pembentukan teori sosial dan epistemologi, analisa kapitalisme di masyarakat industrial dan demokratis; kepastian hukum di dalam konteks evolusi sosiobudaya; dan politik kontemporer, terutama yang terjadi di Jerman. Dia mengembangkan sistem teori yang diabdikan untuk menunjukkan kemungkinan penalaran, emansipasi dan komunikasi logis-kritis yang terdapat di dalam institusi liberal modern.
Berbeda dari para pendahulunya, Habermas tidak terpaku dalam sorotan terhadap kepentingan teknis semata. Menurut Habermas, masyarakat memiliki 3 jenis kepentingan yang masing-masing memiliki pendekatan dan rasionya masing-masing.Kepentingan Teknis, adalah kepentingan untuk menyediakan sumberdaya natural. Karena sifatnya yang sangat instrumental —dengan tugas yang konkret— kerja, pada dasarnya adalah kepentingan yang “teknis”.Kepentingan yang kedua adalah interaksi. Karena kerjasama sosial amat dibutuhkan untuk bertahan hidup, Habermas menamakannya kepentingan “praktis”. Ia mencakup kebutuhan-kebutuhan manusia untuk saling berkomunikasi beserta praktek-prakteknya.Kepentingan yang ketiga adalah kekuasaan. Tatanan sosial, secara alamiah cenderung pada distribusi kekuasaan, namun pada saat yang sama, kita juga memiliki kepentingan untuk membebaskan diri dari dominasi. Kekuasaan mengarah pada distorsi terhadap komunikasi, namun dengan menjadi sadar akan adanya ideologi-ideologi yang dominan di masyarakat, suatu kelompok kemudian dapat memberdayakan dirinya untuk mengubah keadaan. Maka, kepentingan kekuasaan adalah kepentingan yang “emansipatoris”.
Masyarakat selalu mengandung ketiga jenis kepentingan ini. Pertentangan antar kepentingan-kepentingan yang ada, hanya dapat diselesaikan tanpa dominasi salah satu kepentingan di atas yang lain, melalui perdebatan yang rasional.Di sinilah Habermas memperkenalkan konsep Ruang Publik. Baginya, Ruang Publik adalah wahana di mana setiap kepentingan terungkap secara gamblang, setiap warga masyarakat memliki akses yang sama untuk berpartisipasi, kemudian mereka terdorong untuk mendahulukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus mengenai arah masyarakat tersebut ke depan dan menemukan solusi bersama dalam memecahkan maasalah-masalah yang mereka hadapi.Ruang Publik hanya dapat mencapai fungsinya ketika telah tercipta Situasi Berbicara yang Ideal. Situasi yang ideal ini, adalah keadaan di mana klaim-klaim yang diperdebatkan dapat dibicarakan dan diargumentasikan secara rasional. Dalam situasi ideal ini, kebenaran tidak menjadi objek dari kepentingan tersembunyi dan permainan, melainkan muncul lewat argumentasi.
Ruang Publik ini juga merupakan jembatan interaksi antara penguasa dan masyarakat. Kekuasaan, mencapai legitimasi dan pengakuan masyarakat, serta memahami arah yang diinginkan masyarakat melalui dialog dalam Ruang Publik. Sementara masyarakat dapat menyuarakan kepentingannya agar dapat diakomodir oleh penguasa.Hanya melalui Ruang Publik inilah, dapat terwujud masyarakat yang dewasa dan bebas dari penindasan-penindasan dan menanggulangi krisis yang mereka hadapi.
Ruang Publik, dalam prakteknya dapat terwujud dalam berbagai kesempatan. Habermas menyoroti kemampuan pers atau media massa untuk menjadi sebuah Ruang Publik yang dapat menjalankan fungsinya.Media massa, dengan jangkauannya yang luas dan kandungan informatif yang dimilikinya, bersentuhan langsung dengan wilayah publik. Hanya saja, Habermas mewaspadai bahwa keberadaan media massa tidak terlepas dari kepentingan privat yang menyelenggarakannya. Kepentingan privat ini harus ditampilkan secara terbuka dan dikesampingkan di bawah kepentingan publik.
Melalui buku Civil Society and the Political Public Sphere, Jurger Habermas memaparkan bagaimana sejarah dan sosiologis ruang publik. Menurutnya, ruang publik di Inggris dan Prancis sudah tercipta sejak abad ke-18. Pada zaman tersebut di Inggris orang biasa berkumpul untuk berdiskusi secara tidak formal di warung-warung kopi. Mereka di sana biasa mendiskusikan persoalan-persoalan karya seni dan tradisi baca tulis. Dan sering pula terjadi diskusi-diskusi ini melebar ke perdebatan ekonomi dan politik. Sementara di Prancis, contoh yang diberikan Jurgen Habermas, perdebatan-perdebatan semacam ini biasa terjadi di salon-salon. Warga Prancis biasa mendiskusikan buku-buku, karya-karya seni baik berupa lukisan atau musik, di sana.
Selanjutnya Jurgen Habermas menjelaskan bahwa ruang publik merupakan media untuk mengomunikasikan informasi dan juga pandangan. Sebagaimana yang tergambarkan di Inggris dan Prancis, masyarakat bertemu, ngobrol, berdiskusi tentang buku baru yang terbit atau karya seni yang baru diciptakan. Dalam keadaan masyarakat bertemu dan berdebat akan sesuatu secara kritis maka akan terbentuk apa yang disebut dengan masyarakat madani. Secara sederhana masyarakat madani bisa dipahami sebagai masyarakat yang berbagi minat, tujuan, dan nilai tanpa paksaan yang dalam teori dipertentangkan dengan konsep negara yang bersifat memaksa.
Pada perkembangan selanjutnya ruang publik juga menyangkut ruang yang tidak saja bersifat fisik, seperti lapangan, warung-warung kopi dan salon, tetapi juga ruang di mana proses komunikasi bisa berlangsung. Misal dari ruang publik yang tidak bersifat fisik ini adalah media massa. Di media massa itu masyarakat membicarakan kasus-kasus yang terjadi di lingkungannya sebagai contoh penguasa Serang yang telah berselingkuh dengan pemilik modal dengan membongkar bangunan Makodim Serang. Penguasa yang tidak menerima dikritik dan media massa yang menolak memuat sebuah artikel karena takut kepada penguasa juga sebagai tanda bahwa sebuah ruang publik belum tercipta.
Habermas memodifikasi konsep Kant tentang ruang publik secara substansial. Immanuel Kant masih menganggap komunikasi terjadi dalam ruang publik soliter, sementara Habermas menekankan komunikasi dalam ruang publik secara keseluruhan. Komunikasi tidak bisa dijamin berlangsung dalam ruang publik soliter ala Kant karena praksis kehidupan sehari- hari kita bertumpu pada suatu dasar yang kukuh, yaitu kenyataan bahwa kita memiliki latar keyakinan, kebenaran, budaya, dan harapan yang saling mengandaikan. Komunikasi haruslah bebas dari maksud dominasi salah satu pihak kepada pihak lain, dengan kata lain “komunikasi tanpa kekuasaan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar