Sejarah peradapan Barat memiliki perjalanan yang amat panjang dan berliku. Setelah sekian lama manusia Barat terkungkung dalam kebodohan akibat ulah mayoritas rohaniawan Kristen yang selalu mengatasnamakan agama dalam perilaku yang tidak sesuai dengan akal dengan berdalih sakralitas yang tidak bisa diganggu gugat, mereka mengadakan pemaksaan dogma-dogma sakralitas ke benak setiap manusia Barat. Pemerkosaan keyakinan dan pembunuhan intelektual, itulah kata ekstrim dalam menggambarkan situasi zaman itu. Masa kegelapan (dark ages), itulah istilah yang sering dipakai manusia Barat ketika mengingat masa suram abad pertengahan (Midle Ages, 325-1300). Tekanan demi tekanan yang dilakukan penguasa Gereja ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan membinasakan mereka.
Selain dogma agama yang mereka sampaikan tidak memberi jalan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan tak jarang dogma-dogma itu bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang berkembang. Sementara disisi lain, perilaku mereka yang tidak konsekuen atas ajaran agama yang selama itu digembor-gemborkan semakin membuat muak para manusia Barat. Diam-diam para intelektual Barat mengumpulkan daya dan upaya untuk lepas dari belenggu para rohaniawan Kristen. Para ilmuwan mulai mengais-ngais kembali budaya Yunani klasik di kantung-kantung peradaban yang selama ini terlupakan. Pada akhirnya, awal abad ke-14 adalah puncak protes manusia Barat, mereka mengadakan pergolakan besar-besaran sebagai reaksi atas prilaku Gereja dengan mengadakan gerakan pembaharuan, perombakan budaya. Renaissance, itulah puncak pergolakan yang selama ini mereka nantikan. Lepas dari belenggu pembodohan dan bebas dari ikatan-ikatan dogmatis agama yang tak jarang bersifat irrasional, mereka ibaratkan bagai terlahir kembali. Namun, kenyataannya, kebebasan radikal tidak lebih baik dari belenggu pembodohan, dua hal yang telah keluar dari garis netral.
Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972. Ketika rumah Pruitt-Igoe di St. Louis sebagai lambang arsitektur modern dihancurkan, maka penghancuran tersebut menandai munculnya era baru, yaitu postmodernisme. Dengan cepat fenomena ini kemudian menjadi gerakan populer dan intelektual; menjadi sebuah karakter sosial yang terus berkembang di budaya Barat dan merasuki ranah filsafat.
Istilah “postmodernisme” sebenarnya sulit untuk didefinisikan. Hal ini disebabkan karena makna awalan “post” pada “postmodern” masih diperdebatkan. Tokoh-tokoh postmodernisme sendiri memiliki pandangan yang berbeda-beda. Jean-Francois Lyotard berpendapat, awalan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. Bagi David Griffin, awalan tersebut berarti sekadar koreksi terhadap aspek-aspek tertentu dari kemodernan. Sedangkan bagi Jacques Derrida dan Michel Foucault, berarti kemodernan yang akhirnya bunuh diri. Bagi Jurgen Habermas, berarti satu tahap dari proyek modernisme yang belum selesai. Ketiadaan definisi ini justru menunjukkan ciri khas dari postmodern. Karena itu, 'The Modern-Day Dictionary of Received Ideas' menjelaskan bahwa kata postmodern ini “tidak punya arti,” dan “gunakan saja sesering mungkin.”
Apapun definisinya (yang sebenarnya tidak dapat didefinisikan), postmodern telah hadir di tengah-tengah kita. Postmodern dalam bentuk “isme”-nya merupakan kritik terhadap filosofi wawasan dunia (world-view), epistemologi, dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan dalam bentuk kultural (postmodernitas) menunjukkan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, serta usangnya penggalian nilai-nilai tradisional. Meskipun keduanya berbeda, tetapi postmodernitas atau postmodernisme seringkali dipakai bergantian, dan keduanya saling berkaitan erat.
Pada masa kini postmodern merupakan fenomena kultural yang tidak dapat kita hindari. Kita sedang menghadapi sebuah kultur yang sangat berbeda dari kultur modern. Jika dalam modernisme (pencerahan), manusia dengan rasionya dianggap mampu menemukan kebenaran, nilai, atau makna tertinggi, maka dalam postmodernisme justru sebaliknya; kebenaran, nilai, atau makna tertinggi tidak hanya diperoleh melalui rasio, tetapi juga melalui emosi atau intuisi. Demikian pula, jika modernisme mengakui adanya kebenaran dan nilai yang obyektif, yang berkorelasi dengan sebuah obyek, maka postmodernisme mengakui bahwa kebenaran dan nilai dari sebuah obyek bergantung pada kelompok/massa yang menilainya, bukan berkorelasi dengan obyeknya. Karena itu, hal yang kita anggap baik, hal ini belum tentu baik bagi orang lain. Demikian pula, hal yang orang lain anggap salah, hal itu belum tentu salah bagi kita. Hal yang dianggap fiksi, juga dapat dianggap sebagai ilmiah, atau sebaliknya. Hilangnya perbedaan fiksi dan ilmiah ini menjadi kultur postmodern.
Istilah “postmodernisme” sebenarnya sulit untuk didefinisikan. Hal ini disebabkan karena makna awalan “post” pada “postmodern” masih diperdebatkan. Tokoh-tokoh postmodernisme sendiri memiliki pandangan yang berbeda-beda. Jean-Francois Lyotard berpendapat, awalan “post” berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan. Bagi David Griffin, awalan tersebut berarti sekadar koreksi terhadap aspek-aspek tertentu dari kemodernan. Sedangkan bagi Jacques Derrida dan Michel Foucault, berarti kemodernan yang akhirnya bunuh diri. Bagi Jurgen Habermas, berarti satu tahap dari proyek modernisme yang belum selesai. Ketiadaan definisi ini justru menunjukkan ciri khas dari postmodern. Karena itu, 'The Modern-Day Dictionary of Received Ideas' menjelaskan bahwa kata postmodern ini “tidak punya arti,” dan “gunakan saja sesering mungkin.”
Apapun definisinya (yang sebenarnya tidak dapat didefinisikan), postmodern telah hadir di tengah-tengah kita. Postmodern dalam bentuk “isme”-nya merupakan kritik terhadap filosofi wawasan dunia (world-view), epistemologi, dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan dalam bentuk kultural (postmodernitas) menunjukkan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, serta usangnya penggalian nilai-nilai tradisional. Meskipun keduanya berbeda, tetapi postmodernitas atau postmodernisme seringkali dipakai bergantian, dan keduanya saling berkaitan erat.
Pada masa kini postmodern merupakan fenomena kultural yang tidak dapat kita hindari. Kita sedang menghadapi sebuah kultur yang sangat berbeda dari kultur modern. Jika dalam modernisme (pencerahan), manusia dengan rasionya dianggap mampu menemukan kebenaran, nilai, atau makna tertinggi, maka dalam postmodernisme justru sebaliknya; kebenaran, nilai, atau makna tertinggi tidak hanya diperoleh melalui rasio, tetapi juga melalui emosi atau intuisi. Demikian pula, jika modernisme mengakui adanya kebenaran dan nilai yang obyektif, yang berkorelasi dengan sebuah obyek, maka postmodernisme mengakui bahwa kebenaran dan nilai dari sebuah obyek bergantung pada kelompok/massa yang menilainya, bukan berkorelasi dengan obyeknya. Karena itu, hal yang kita anggap baik, hal ini belum tentu baik bagi orang lain. Demikian pula, hal yang orang lain anggap salah, hal itu belum tentu salah bagi kita. Hal yang dianggap fiksi, juga dapat dianggap sebagai ilmiah, atau sebaliknya. Hilangnya perbedaan fiksi dan ilmiah ini menjadi kultur postmodern.
Dengan kata lain, dalam bidang filsafat postmodernisme diartikan sebagai “segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya”.Terkadang orang menyamakan postmodernisme dengan postmodernitas. Apa yang membedakan keduanya? Menurut I. Bambang Sugiharto, postmodernisme menunjuk pada kritik-kritik filosofis atas gambaran dunia (world view), epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Sedangkan yang kedua merupakan situasi dan tata sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Pengertian ini juga yang dimaksud Turner, dan menjadi dasar kritikannya terhadap Ernest Gellner yang meyamakan kedua arti tersebut. Singkatnya, postmodernisme bermakna pemikiran filosofis yang menyerang modernisme, dan postmodernitas adalah realitas yang merupakan hasil dari pemikiran yang diproduksi.
Upaya yang dilakukan postmodernisme adalah membongkar dan menghancurkan meta- narasi yang dihasilkan dari sebuah ideologi dan pemikiran mainstream yang hegemonik dan menguasai kultur pengetahuan masyarakat. Secara bersamaan, filsafat postmodern menyalahkan kapitalisme yang eksploitatif dan sosialisme yang birokratik, dan sama-sama dianggap sebagai “narasi-narasi besar” (grand narrative) yang menyebabkan kegersangan bagi dunia sosial modern. Menurut Turner, perkembangan-perkembangan politik dan intelektual dalam postmodernisme menjadi tantangan besar bagi orientalisme. Orientalisme yang merupakan bagian dari meta-narasi menjadi memungkinkan untuk dilawan bagi kalangan postmodern. Cita-cita yang ingin diusung oleh postmodernisme adalah terjalinnya kehidupan yang plural, demokratis, egaliter, dan menjamin bagi emansipasi sebuah ideologi tanpa memasung rasa kemanusiaan.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa diskursus tentang minoritas dan pluralisme ini menguat seiring lahirnya apa yang sering disebut sebagai “postmodernisme”. Boleh dibilang, justru dua hal itulah tema kunci yang diusung oleh postmodernisme. Postmodernisme, yang dalam diskursus resmi lahir sejak keluarnya buku J.F. Lyotard, The Postmodern Condition (1979), menggugat keberadaan “narasi besar” (Grandnarrative) yang mengarah pada klaim-klaim universalitas, rasionalitas dan sentralisasi. Mengapa narasi? Lyotard menggambarkan relasi sosial manusia melalui konsep “narasi” yaitu cara bagaimana dunia dipresentasikan ke dalam pelbagai konsep, ide, gagasan, dan cerita lewat interpretasi terhadap dunia tersebut, yang membentuk “kesadaran kolektif” tentang sebuah dunia baik itu besar maupun kecil. Gugatan terhadap narasi besar atau pandangan dominan yang selain mengedepankan “universalitas” dan berwatak “totaliter” terhadap dunia ini berarti mengizinkan tampilnya “narasi-narasi kecil”, yaitu narasi-narasi heterogen, yang diceritakan di dalam institusi-institusi lokal yang plural, dengan aturan main, keunikan dan determinasinya sendiri. Gugatan terhadap narasi besar di satu sisi dan pengakuan terhadap narasi kecil di sisi lain, dengan demikian, berarti pengakuan terhadap realitas plural. Pengakuan itu kemudian, ketika menjadi sebuah kesadaran rasional dan sebuah praksis, menjadi sebuah pandangan hidup. Itulah pluralisme.
Dalam menentang dirinya sendiri pada “penguniversalan”, pengetahuan ilmiah dan pengalaman sejarah, kaum relativis (postmodern) menentang bahwa semua orang mengamati, mengerti dan merespons segala persoalan secara berbeda. Tidak ada contoh mutlak dalam masyarakat. Secara khusus, dari kenyataan bahwa daya tangkap manusia dunia melalui perantaraan bahasa, postmodernisme telah melihat kenyataan menjadi ribuan pacahan.
Dalam praktiknya, itu berarti bahwa setiap orang harus melakukan persoalan mereka sendiri, percaya, dan menghargai individualitas dari pengalaman mereka dan ide-ide mereka, dan (seharusnya) menghormati individualitas orang yang lain.
Postmodernisme secara epistemologis sarat dengan makna dan mencakupi ide-ide dan nuansa-nuansa yang begitu luas cakupannya. Kompleksitas dan keniscayaan gerakan intelektual menyuguhkan wacana ini sebagai jargon baru dalam peta gelombang pemikiran. Namun orang bisa sepakat dalam tataran epistemologis itu, tetapi apakah hal itu juga berlaku ketika berada dalam tataran praksis.
Begitu banyak tokoh dan aliran dalam postmodernisme, antara lain dekontruksivisme “Derrida”, lalu Foucault dengan konsep seksualitas dan genealoginya dan Juergen Habermas dengan teori ruang public dan komunikasi tanpa kekuasaannya. Bahkan di Eropa sendiri postmodernisme dianggap sebagai the haunt of social science, yang dapat mengebiri realitas menjadi hiper-realitas, foundationalism menjadi anti-foundationalism, konstruksi menjadi dekonstruksi, history menjadi genealogy, dan sebagainya, yang jika masuk dalam ruang budaya seperti menjungkirbalikkan suatu tradisi, atau lebih tepatnya memperkarakan kembali realitas.
Sumber :
Luthfi ,Muchtar.Postmodernisme; Fatamorgana Alam Khayal, www. Google.com
Liem Sien Liong. Quo Vadis Hymn? Tinjauan Kultur Terhadap Eksistensi Musik Gerejawi di Era Postmodern, www. Gkagloria.com
Susanto .Happy. Membongkar Hegemoni Wacana Sosiologi Barat, www. Averroes Community.com
Terre ,Eddie Riyadi. Posisi Minoritas dalam Pluralisme:Sebuah Diskursus Politik Pembebasan, www. Statcounter.com
Wutsqo ,Urwatul. Postmodernisme dan Krisis Identitas Budaya, www. Sinarharapan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar