Rabu, 19 Januari 2011

LINTANG LANGIT BIRU



Pagi yang cerah. Aku, tak akan pernah membayangkan akan mengalami banyak hal yang luar biasa dalam hidupku. Seperti hari ini, aku terus melangkah dan melangkah dengan pasti bahwa aku bisa melalui hal-hal yang luar biasa itu lebih dari apa yang orang kira. Banyak orang iri dengan kehidupanku, dan itu membuatku hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka bilang bahwa aku beruntung, punya keluarga yang begitu perhatian dan menyayangiku. Papaku seorang dosen di sebuah Universitas Negeri dan Mamaku seorang karyawan Pemerintah Daerah, mereka berdua begitu memprioritaskan pendidikan. Dalam hal pendidikan aku bersyukur bisa mendapat pendidikan yang baik. Aku memiliki banyak teman dan orang-orang di sekitarku yang peduli dan perhatian padaku.
Prestasiku di sekolah juga bagus, aku selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik karena aku percaya bahwa aku bisa dan mampu. Itulah yang membuat banyak orang iri padaku tapi menurutku tidak ada yang perlu mereka iri dari aku karena menurutku setiap manusia punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang penting bagaimana kita menggunakan kelebihan kita untuk menutupi kekurangan itu.
Tapi mereka tidak tahu, ada satu hal yang membuatku merasa iri dengan apa yang mereka alami. Terutama kepada teman-temanku. Usiaku 17 tahun tapi aku masih belum juga punya pacar. Padahal kebanyakan dari teman-temanku sudah punya pacar bahkan mereka cukup sering bergonta-ganti pacar. Aku jadi iri. Sering kali aku di ledek oleh cowok-cowok di sekolah untuk jadi pacarnya tapi bagiku cowok itu nggak hanya keren atau cakep aja tapi dia harus smart. Hmmm aku jadi tambah kepingin punya pacar. Enak nggak ya punya pacar itu??
“Hei, melamun aja. Hati-hati lho, jalan sambil melamun itu bisa bahaya. Emang ngelamun apa sih?” sapa Karin. Karin, salah seorang temanku di sekolah yang cukup dekat dengan aku tapi bukan sahabatku. Aku masih terlalu takut untuk mencoba bersahabat setelah peristiwa di SMP dulu, sahabatku mengkhianatiku. Aku dan Karin memang dekat tapi tidak terlalu dekat.
“Aku nggak ngelamunin apa-apa. Aku Cuma menikmati pemandangan yang ada di sekitarku aja.” Jawabku setengah mengalihkan perhatiannya. “Ah, nggak mungkin. Nggak biasanya seorang Lintang berjalan sambil melamun. Jangan-jangan…kamu lagi jatuh cinta ya?” ledek Karin.
“Nggak kok. Aku nggak jatuh cinta kok..kamu ini ada-ada aja Rin. Siapa lagi yang jatuh cinta.” Aku menyanggah ledekkan Karin. “Tapi, kok wajahmu jadi merah ya Lin? Hayooooo” Karin semakin meledek. “Ih, Karin apa-apaan sih. Nggak kok.” Aku tetap menyanggah Karin. Karin kadang-kadang memang suka bikin orang salah tingkah. Ah, Karin ada-ada saja.
Pagi ini hari Senin, mungkin bukan pagi yang menggembirakan bagi siswa XI IPS 1 karena jam pelajaran yang pertama adalah Matematika. Satu-satunya hari dimana matematika di mulai pada jam pertama. Yang lebih tidak menggembirakan lagi karena pagi ini diadakan pre-test menjelang Ujian Semester. Matematika memang di kenal paling tidak mengasyikkan tapi bagiku, Matematika adalah hiburan. Seluruh isi kelas mulai gelisah menunggu bel pelajaran di mulai. Mereka membayangkan Pak Dedi dengan sepatunya yang berbunyi tik tok tik tok jika berjalan memasuki kelas dengan wajah tegang sambil membawa amplop yang berisi lembaran soal.
Saat pintu kelas yang tadinya ditutup berbunyi klik pada pegangannya, seisi kelas mulai memucat tapi ternyata bukan Pak Dedi yang masuk. Seorang pria dengan mengenakan kemeja biru berlengan panjang dengan celana kain hitam dan membawa amplop seperti yang biasanya di bawa Pak Dedi jika akan memberi test kepada siswanya memasuki kelas. Usianya masih muda sekitar dua puluh lima-an. Rambutnya rapi dengan belahan pinggir kiri, raut wajahnya ramah.Semua kelas terdiam bukan karena takut melainkan karena heran dan terpana dengan kehadirannya. Tiba-tiba suaranya yang halus membuyarkan keheranan mereka.
“Selamat pagi semuanya……Perkenalkan nama saya Dimas Aditya, saya pengajar baru disini. Mulai hari ini Pak Dedi berhalangan hadir karena beliau harus melanjutkan studi nya ke luar kota maka untuk pelajaran Matematika kelas ini, saya ambil alih.” Kata guru tersebut yang mengaku bernama Dimas.
Sontak kelas bergemuruh penuh dengan kelegaan dan kekaguman. Karin berbisik di telingaku. “Pak Dimas cakep ya Lin, untung deh berarti pre-test Matematika pagi ini di batalkan. Pak Dedi nggak ada.”
Aku hanya tersenyum mendengar bisikkan Karin. Pak Dimas memang cakep, tapi seolah-olah aku pernah mengenalnya. Dimana ya? Aku mecoba mengingat. Atau mungkin di ruang guru? Atau di jalan? Di supermarket? Aku yakin, aku merasa mengenalnya. Namun selagi aku berpikir, suara halus Pak Dimas membuyarkannya.
“Tapi, sesuai dengan perjanjian yang telah kalian dengan Pak dedi sebelumnya mengenai pre-test matematika akan tetap di laksanakan. Baik, siapkan alat-tulis. Segala bentuk catatan silahkan disimpan dahulu, pre-test di mulai.” Jawabnya lugas.
“HAAAAAAAAAA!!!!!” terdengar teriakan spontan dari seisi kelas. Aku mendongak terkejut, termasuk Pak Dimas. Saat itulah aku bertatapan dengan Pak Dimas. Aku semakin yakin bahwa aku sangat mengenalnya saat melihat tatapan Pak Dimas. Setelah sepersekian detik, Pak Dimas mulai membagikan lembaran soal dan kurasakan kasak-kusuk Karin di sebelahku mulai menggerutu.
“Ah, baru aja di bilang cakep. Eh, malah di bagiin soal matematika.” Gerutu Karin.
Setelah 1,5 jam pelajaran berlalu Pak Dimas mulai menarik lembar soal yang telah diberi jawaban oleh siswa. Saat asyik mengumpulkan lembar soal, pintu kelas terbuka dan nampak Ibu Wakil Kepala Sekolah memasuki kelas setelah meminta ijin kepada Pak Dimas beliau memberikan pengumuman di depan kelas.
“Selamat pagi anak-anak, saya hanya menyampaikan sebuah pengumuman bahwa salah satu teman kalian mendapat kehormatan untuk mewakili sekolah mengikuti Dharmasiswa atau pertukaran pelajar ke Australia selama 1 bulan.” Mendengar pengumuman dari Ibu Wakasek, seluruh kelas menjadi riuh sedangkan Pak Dimas yang ikut memperhatikan pengumuman sambil merapikan lembar soal pre-test hanya tersenyum.
“Siapa Bu? Dari IPA atau dari IPS Bu?” Karin bersuara.
“Berdasarkan hasil penilaian ternyata yang mewakili sekolah ini dari kelas IPS.” Bu Wakasek menjelaskan. Serta merta kelas bertambah ramai.
“Baik anak-anak, mohon perhatiannya.” Ibu Wakasek mulai menenangkan siswa.
“Lintang Langit Biru…” Ibu Wakasek memanggil namaku, namun aku yang sedari tadi tidak begitu memperhatikan. Aku terlalu asyik dengan lamunanku tentang Pak Dimas yang seolah pernah kukenal. Dimana ya? Sampai siku Karin menyentuhku dan membuyarkan lamunanku.
 “Iya Bu, saya Lintang Langit Biru.” Kataku, tapi entah kenapa kurasakan tatapan Pak Dimas begitu tajam ke arahku. Ya Tuhan, ada apa lagi ini. Apa aku melakukan kesalahan sehingga Ibu Wakasek sendiri yang memanggilku.
“Lintang, kamu ikut saya ke ruang Kepala Sekolah.” Ibu Wakasek melanjutkan kata-katanya. Ku rasakan keheningan seisi kelas, seolah darahku berhenti mengalir. Aku beranjak dari bangku dan berjalan kearah Ibu Wakasek. Saat aku berdiri di antara Pak Dimas dan Ibu Wakasek, Ibu Wakasek melanjutkan pengumumannya.
“Anak-anak saya akan melanjutkan pengumuman saya tadi, siswa yang mewakili sekolah kita untuk petukaran pelajar yaitu Lintang Langit Biru.”
Sontak seisi kelas bergemuruh, aku tidak percaya dengan apa yang di katakan Ibu Wakasek. Aku hanya bisa terperanjat sambil memandangi wajah Ibu Wakasek dan Pak Dimas bergantian. Ya Tuhan, apakah aku mimpi? Seseorang, tolong sadarkan aku. Untuk sepersekian detik aku teringat masa kecilku saat aku berusia 12 tahun, 5 tahun yang lalu Mas Adit pernah bertanya padaku. “Bintang kecilku, kalau kamu besar apa cita-citamu?”
“Kalau aku besar aku pingin sekolah di luar negeri.” Jawabku waktu itu.
“Lho memangnya kamu mau ke sekolah di mana?” tanya Mas Adit kemudian. “Aku mau sekolah di Australia kayak Mas Adit.” Jawabku. “Kenapa harus di Australia?” “Karena aku bisa ketemu Mas Adit tiap hari dan ditemeni main ayunan.”
Aku jadi tersenyum mengingat kenangan itu. Mas Adit, sudah 3 tahun ini tidak ada kabar darinya. Apa dia masih di Australia? Seandainya aku tidak kehilangan kontak dengan Mas Adit, aku pasti bisa menyampaikan berita bahagia ini padanya. Tiba-tiba suara Ibu Wakasek membuyarkan lamunanku.
“Lintang, kamu ikut saya ya. Pak Dimas, saya permisi dulu.” Pamit Ibu Wakasek mengakhiri pembicaraan.
Aku berjalan mengikuti Ibu Wakasek menuju ruang Kepala Sekolah. Tetap saja dengan bayangan tentang Mas Adit. Mas Adit, akhirnya aku bisa sekolah di Australia meskipun hanya 1 bulan. Ibu Wakasek membuka pintu dan masuk mendahuluiku. Di ruang Kepala Sekolah aku mendapat pengarahan mengenai proses keberangkatanku, cukup memakan waktu hampir 2 jam. Setelah aku mencatat segala administrasi yang diperlukan, aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk perlengkapan ke Australia.
Dalam perjalanan menuju kelas untuk membereskan buku-buku, aku berpapasan dengan Pak Dimas. Dia menyapaku dan memberiku selamat.
“Lintang, selamat ya atas prestasi kamu. Saya bangga, kamu bisa meraih mimpi kamu.” Kata Pak Dimas sambil menjabat tanganku. Aku yang masih linglung dengan peristiwa hari ini, menjawab dengan terbata-bata.
“Iya Pak terimakasih.” Jawabku singkat lantas aku segera kembali ke kelas. Tentu saja sesampainya di kelas aku di sambut oleh teman-temanku tapi untung saja Bu Wakasek kembali ke kelasku dan memintaku untuk segera karena ternyata beliau ingin aku segera menyiapkan dokumen-dokumen untuk pengurusan visa dan passport. Keberangkatanku memang masih bulan depan namun mengurus visa dan passport ternyata membutuhkan waktu kurang lebih 3 minggu.
Sesampainya di rumah, aku menyampaikan berita perihal keberangkatanku ke Australia. Aku tahu orang tuaku pasti bahagia mendengarnya meskipun di hati ku terbersit kecewa karena aku tidak bisa menghubungi Mas Adit. Ponselnya tidak dapat di hubungi, sepertinya Mas Adit sudah mengganti nomornya. Alamatnya yang di Indonesia juga sepertinya sudah pindah, terlihat dari surat-surat yang ku kirimkan ke Mas Adit kembali padaku. Mas Adit, kamu dimana? Aku kangen sama Mas Adit.
Mas Adit, satu-satunya alasan kenapa sampai saat ini aku masih sendiri. Yang ku inginkan Mas Adit. Meskipun aku tahu belum tentu Mas Adit juga mau jadi pacarku, tapi aku akan tetap menunggu Mas Adit sampai kapanpun dan apapun jawabnya. Kalimat terakhir yang diucapkan Mas Adit sebelum berangkat ke Australia terus terngiang-ngiang.
“Lintang kamu satu-satunya bintang yang berkilau di langit biru, karena semua bintang hanya bersinar di langit malam. Kejar mimpimu, kamu pasti bisa. Tunjukkan bahwa kamu memang bintang di langit biru.” Mas Adit, Lintang pasti bisa. Lintang pasti bisa jadi bintang di langit biru.
Waktu telah berlalu begitu cepat. Tidak terasa 3 minggu telah lewat sejak berita keberangkatanku ke Australia. Pagi ini, Ibu Wakasek memanggilku untuk menyerahkan visa dan passport ku yang telah kuurus 3 minggu yang lalu di temani Pak Dimas. Mengenai Pak Dimas, sejak beliau membantuku mengurus passport beliau lebih perhatian dan banyak membantuku. Terlebih dengan diadakannya waktu khusus yang dia berikan kepadaku untuk memperdalam Matematika karena waktuku di sekolah tersita untuk pelajaran ekstra bahasa Inggris dan Kebudayaan Indonesia sebagai bekal ku ke Australia.
Semakin hari aku dan Pak Dimas semakin dekat hingga suatu hari di tengah pelajaran ekstra matematika ku beliau bertanya padaku. “Lintang Langit Biru. Nama yang menarik.” Katanya. “Lho memangnya kenapa Pak?” tanyaku.
“Karena semua bintang bersinar di langit malam dan Cuma kamu bintang yang bersinar di langit biru.” Jawabnya ringan.
Aku benar-benar terkejut. Lho, kenapa kata-kata Pak Dimas sama dengan kata-kata Mas Adit? Waktu 3 minggu bersama Pak Dimas telah menumbuhkan perasaan berbeda di hatiku pada Pak Dimas. Semakin hari aku semakin ingin bertemu dengannya. Rasa yang sama saat aku bersama dengan Mas Adit dulu kini timbul antara aku dan Pak Dimas.
Setiap hari Pak Dimas selalu memberiku hal-hal baru yang membuatku lebih bersemangat dan berbunga-bunga. Pak Dimas selalu ada buatku saat aku membutuhkannya meskipun bukan untuk belajar matematika. Pak Dimas selalu ada saat aku butuh teman untuk ngobrol, cerita bahkan sekedar jalan-jalan. Bahkan Pak Dimas pernah mengajakku ke Taman hanya untuk sekedar bermain ayunan, membuatku semakin mengingat Mas Adit. Sampai suatu hari Pak Dimas memaksaku untuk bercerita mengenai Mas Adit karena aku tidak sengaja menyebut namanya saat bermain ayunan.
“Siapa Adit, Lintang? Pacar kamu?” tanya Pak Dimas.
“Bukan Pak. Dia bukan pacar saya tapi saya mau jadi pacarnya kalau saya bertemu dengannya. Tapi itupun kalau dia minta saya jadi pacarnya.” Jawabku lugu.
“Lho memangnya dia kemana? Kenapa kamu mau jadi pacarnya?” tanya Pak Dimas lagi.
“Lima tahun yang lalu Mas Adit pergi ke Australia, dia dapat beasiswa sekolah disana. Waktu itu saya masih kelas 6 SD. Mas Adit begitu perhatian sama saya seolah-olah saya adalah adiknya. Mas Adit pintar, itulah yang membuat saya semakin kehilangan saat dia harus pergi ke Australia karena tidak ada lagi yang mau mengajari saya matematika. Dulu saya paling benci dengan matematika tapi Mas Adit selalu ada untuk menemani saya belajar matematika.
Semenjak kepergian Mas Adit, saya bertekad untuk bisa mencintai matematika supaya saya bisa seperti Mas Adit. Mas Adit lah satu-satunya alasan kenapa saya berusaha untuk mengikuti seleksi pertukaran mahasiswa karena saya ingin ketemu Mas Adit. Tapi saying, sejak 3 tahun yang lalu saya kehilangan kontak dengannya sepertinya Mas Adit sudah ganti nomor. Alamatnya di Indonesia pun sepertinya sudah pindah.
Maaf ya Pak, saya jadi curhat tentang Mas Adit. Terus bapak sendiri bagaimana? Apa sudah punya pacar? Pasti pacar bapak cantik ya dan pasti orang yang pengertian karena jarang bertemu bapak, kan bapak harus memberi pelajaran ekstra buat saya setiap sore sampai malam bahkan sering saya minta untuk nemeni saya.” kataku.
“Sudah. Siapa bilang saya jarang bertemu dengannya? Setiap hari saya bertemu. Dia sangat cantik. Tidak hanya cantik, tapi dia pintar, pengertian dan setia. Sabar menunggu saya.
Yang penting sekarang, kejar dulu mimpimu Lintang. Kamu pasti bisa. Dengan atau tanpa Adit. Jadilah berkilau di langit biru.” Jawab Pak Dimas.
Jawaban Pak Dimas sempat membuatku tertohok. Ternyata Pak Dimas sudah punya pacar. Tuhan, apa aku nggak boleh punya pacar ya? Kok sepertinya semuanya menjauh dariku. Pertama Mas Adit sekarang Pak Dimas. Rasanya hatiku ingin menangis.
Sedang hari ini, aku menerima visa dan passport ku. Tidak lama lagi, aku bisa bertemu Mas Adit. Tapi apa benar aku bisa bertemu? Sedang Mas Adit, aku tidak tahu dimana dia sekarang. Aku mencoba menghubungi Pak Dimas, tapi ku dengar dari mesin operator bahwa nomornya tidak aktif. Aku mencoba mencarinya di ruang guru namun tak kulihat Pak Dimas disana. Ah mungkin saja Pak Dimas memang belum datang, pikirku. Aku kembali ke ruang kelas.
Seperti biasa, hari ini hari Senin. Pelajaran pertama adalah matematika akan segera dimulai namun bukan Pak Dimas yang memasuki ruang kelas. Pak Dedi rupanya telah kembali dari studinya lalu kemana Pak Dimas? Kenapa hingga siang begini tak ada kabar darinya? Sms yang kukirimkan padanya juga masih menunggu pada laporan pengirimannya. Aku mulai gelisah, baru sekali ini aku tidak bisa benar-benar menikmati pelajaran matematika sepanjang pelajaran Pak Dedi.
Seperti biasanya, aku mendapat prioritas untuk pulang lebih awal guna persiapanku selesai apalagi waktuku tinggal 1 minggu lagi. Untuk hal ini aku mendapat dispensasi tidak masuk sekolah selama 5 hari sampai hari keberangkatanku. Acara hari ini di sekolah memang acara perpisahanku. Aku terharu, karena begitu banyak teman-temanku yang menyayangiku juga guru-guru yang memperhatikanku. Namun tetap tak kuliahat sosok Pak Dimas.  Sebelum beranjak pulang, aku menyempatkan diri untuk mampir ke ruang guru untuk menemui Pak Dimas. Barang kali saja Pak Dimas ada di sana. Di ruang guru tak ku lihat sosok Pak Dimas. Seorang guru Bahasa Indonesia, Bu Widi namanya menyapaku.
“Lintang, kamu cari siapa?” sapa Bu Widi. “Maaf Bu, saya mencari Pak Dimas. Saya mau membicarakan mengenai jadwal belajar ekstra matematika.” Aku memberi alasan yang kupikir masuk akal padahal bukan itu alasanku sebenarnya. Entah kenapa aku merindukan Pak Dimas.
“Lin, Pak Dimas sudah tidak mengajar disini lagi. Waktu praktik kuliah lapangannya sudah habis dan dia harus kembali kuliah seperti biasanya. Kenapa kamu tidak hubungi ponselnya saja?” Bu Widi menjelaskan. Sontak aku terkejut, dan bertanya-tanya dalam hati. Pak Dimas bukan guru? Dia hanya mahasiswa yang sedang praktik kuliah lapangan?
“Ehm, nomor ponselnya juga tidak bisa di hubungi Bu. Sepertinya sudah tidak di pakai lagi, saya sudah mencoba menghubunginya berkali-kali sejak kemarin.” Aku menjelaskan pada Bu Widi. “ Aneh juga ya, padahal kemarin Pak Dimas berpamitan kepada semua guru. Bahkan kemarin sore beliau masih menghubungi saya untuk mengucapkan terimakasih.” Kata Bu Widi penasaran.
Aku semakin penasaran dengan Pak Dimas. Hari Minggu besok aku sudah harus berangkat ke Australia tapi kenapa dia tiba-tiba menghilang? Sesampainya di rumah, aku kembali memeriksa barang-barangku. Di saat-saat seperti ini, pikiranku terbagi menjadi dua. Satu memikirkan Mas Adit dan satunya lagi memikirkan Pak Dimas. Dua nama yang membuatku bingung.
Dulu Mas Adit pergi meninggalkanku tanpa kabar sekarang Pak Dimas juga pergi tanpa kabar. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Tiba-tiba saja kedua pipiku sudah basah. Aku berbaring di atas tempat tidur. Kubiarkan saja pipiku semakin basah, hatiku semakin sedih. Semakin lama aku semakin terisak. Mama yang waktu itu sedang jam istirahat selalu meyempatkan pulang kerumah masuk ke kamarku. Bingung, melihatku menangis terisak.
“Kenapa Lin?” tanya mama khawatir. “Ma, dulu Mas Adit pergi dan tidak memberi kabar padaku. Sekarang Pak Dimas juga pergi tanpa kabar. Apalagi di saat-saat seperti ini, aku ingin Pak Dimas kasih semangat buatku.” Aku menjelaskan pada Mama.
“Oh, jadi sekarang Pak Dimas nih? Bukan Mas Adit lagi?” mama meledekku sambil tersenyum. “Bukan begitu Ma. Semenjak bertemu pak Dimas aku seolah-olah bertemu Mas Adit. Pak Dimas juga begitu perhatian padaku sama seperti Mas Adit.” Jawabku.
“Sudahlah sayang, semua ada waktunya. Yang penting kejar dulu cita-citamu. Dengan atau tanpa Mas Adit atau Pak Dimas, kamu tetap jangan menyerah. Jadilah berkilau di langit biru jangan hanya di malam gelap. Mereka pasti kembali, tetapi kesempatan tidak datang untuk ke dua kalinya. Sekarang yang penting bagaimana kamu tetap survive meski tanpa kehadiran mereka. Mama dan Papa tidak pernah berhenti untuk menyayangimu, mendukungmu dan mendoakanmu. Kamu pasti bisa Lintang, kejarlah mimpimu. Oke. Sekarang, kamu istirahat.” Kata-kata Mama mengingatkanku.
Ya, aku harus bisa dan aku pasti bisa. Aku pasti bisa jadi berkilau di langit biru seperti kata Mama, Mas Adit dan Pak Dimas. Meskipun Mas Adit ninggalin aku, Pak Dimas juga pergi tapi aku masih punya mama dan papaku yang selalu ada buat aku. Juga teman-temanku dan guru-guru yang selalu membantuku. Aku harus bisa, aku pasti bisa. Tanpa Mas Adit dan Pak Dimas, hidup terus berjalan nggak berhenti sampai disini.
Terima kasih Tuhan, karena Kau beri aku keluarga, teman serta orang-orang di sekitarku yang menyayangiku.
1 minggu telah berlalu tanpa kabar dari Pak Dimas. Pagi ini aku harus berangkat ke Australia. Keluargaku mengantarku ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sesampainya di bandara ternyata teman-teman dan guru-guruku telah menanti kedatanganku. Mereka semua menyambutku dan memelukku. Karin terisak seolah dia tidak mau berpisah denganku.         “Lin, jangan lupa sering-sering kabari aku ya. Aku pasti kangen sama kamu, dan aku harus belajar matematika ekstra selama kamu pergi. Jangan lupa oleh-olehnya ya. Oh ya Pak Dimas titip salam buat kamu.” Kata Karin. Mendengar kata-kata Karin spontan aku balik bertanya. “Pak Dimas? Kapan kamu ketemu dia? Kok dia bisa titip salam ke aku lewat kamu sih?” tanyaku.
“Ya bisa dong, kan kata Pak Dimas kamu bintang kecilnya yang selalu berkilau di langit biru.” Kata Karin sambil tersenyum nakal. Aku terheran-heran. Bahkan Karin tahu mengenai Pak Dimas dan kata-kata itu. Aku semakin bingung dengan Pak Dimas. Siapa sebenarnya dia? Saat itulah aku melihat sosok Tante Sofie bercanda dengan Mama dan Papaku. Aku menghampirinya
“Tante Sofie…” sapaku. “Lintang Langit Biru, kamu semakin berkilau saja sayang. Sudah siap berangkat?” jawab Tante Sofie. “Sudah Tante. Tapi Tante kok disini? Ada apa tante?” tanyaku lagi. “Tante kan juga antar anak tante ke Australia.” jawab Tante Sofie. Tante Sofie itu Ibu kandung Mas Adit. Beliau memang selalu menganggapku seperti anaknya. Maklum, aku dan Mas Adit sama-sama anak tunggal. Kesempatan bertemu Tante Sofie tidak kubiarkan begitu saja, aku lalu menanyakan kabar Mas Adit.
“Tante Mas Adit apa kabar? Sudah lama Mas Adit nggak kasih kabar.” Tanyaku. “Adit baik-baik saja sayang. Kamu kangen ya? Jangan kuatir. Kamu pasti ketemu dia. Dia mau kasih surprise ke kamu.” Jawab Tante Sofi sambil tersenyum. Ah, semoga saja aku memang benar bertemu dengan Mas Adit. Tapi aku juga ingin sekali bertemu dengan Pak Dimas. Ku dengar ponsel Tante Sofie bordering, tak berapa lama kemudian Tante Sofie menyerahkan ponselnya padaku.
“Lintang, ada telpon buat kamu. Adit.” Kata Tante Sofie sambil menyerahkan ponselnya padaku. Hatiku berdebar menyambut ponsel Tante Sofie. Mas Adit menelponku? Rasanya aku tak bisa bersuara.
“Halo..” sapaku dengan sedikit terbata-bata. “Lintang sayang, kamu sudah siap berangkat?” tanya suara di seberang telpon. “Sudah Mas. Mas Adit dimana? Lintang kangen.” Jawabku masih dengan suara terbata. “Aku di belakangmu sayang.” Katanya. Dengan sigap aku menoleh ke belakang. Tampak sosok Pak Adit tersenyum dengan ponsel yang masih di letakkan di telinganya. Tanpa sadar air mataku jatuh, entah kekuatan dari mana akhirnya membuatku menghambur ke pelukannya.
“Dimas Aditya, jangan pergi lagi.” Kataku terisak sambil merekatkan pelukanku. “Aku tidak pernah pergi sayang, aku selalu di sampingmu dan menyiapkan segala sesuatunya agar kau bisa bersamaku.” Katanya membelai rambutku.
Garuda Airlines mengangkasa mengantarkan ku dan Mas Dimas Aditya meraih mimpi dan aku merasa semakin berkilau berada di dekatnya.                         End………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar