Rabu, 19 Januari 2011

SEKSUALITAS “FOUCAULT”



Paul-Michel Foucault (Poitiers, 15 Oktober 1926Paris, 25 Juni 1984) adalah seorang filsuf asal Perancis. Ia adalah salah satu pemikir paling berpengaruh pada zaman pasca Perang Dunia II. Foucault dikenal akan penelaahannya yang kritis terhadap berbagai institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran, dan sistem penjara, serta akan karya-karyanya tentang riwayat seksualitas. Karyanya yang terkait kekuasaan dan hubungan antara kekuasaan dengan pengetahuan telah banyak didiskusikan dan diterapkan, selain pula pemikirannya yang terkait dengan "diskursus" dalam konteks sejarah filsafat Barat.Seksualitas merupakan salah satu tema besar yang paling banyak didiskusikan Foucault.
Pandangannya yang brilian tentang seksualitas dapat dilihat diantaranya dalam Herculine Barbine; Being The Recently Discovered Memoirs of a Nineteenth-Century French Hermaphrodite (1979), dan trilogi sejarah seksualitasnya yang sangat terkenal; yaitu The History of Sexuality I; The Will to Know (1983), The History of Sexuality I; The Use of Pleasure (1985), dan The History of Sexuality III; The Care of the Self (1986). Dalam buku-buku ini, Foucault menegaskan bahwa femininitas, maskulinitas dan seksualitas adalah “akibat praktek disiplin”, “the effect of discourse” atau buah “power–knowledge relations.” Foucault membongkar dan menembus kebekuan fondasi rezim heteroseksualitas yang univokal, yang dalam wacana-wacana yang dominan dianggap sebagai the norm, the logos, mathesis universalis atau the essence of human being.
                  Dalam buku The History of Sexuality I: Will to Knowledge, yang kemudian menjadi teks emblematik paling penting dan banyak berpengaruh tentang seksualitas, misalnya, secara luas Foucault menjelaskan bahwa “seksualitas seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang terberi secara alamiah, atau suatu wilayah rahasia yang harus diungkap dan ditemukan pengetahuan secara bertahap.” “Seksualitas” menurutnya “adalah nama yang terbentuk secara historis; bukan realitas alamiah yang susah dipahami, melainkan adalah sebuah jaringan besar yang didalamnya terdapat stimulasi tubuh, intensifikasi kenikmatan, perubahan ke diskursus, formasi pengetahuan tertentu, penguatan kontrol dan resistensi, yang saling berkaitan satu sama lain” (Foucault, 1998: 105-6).
                  Secara umum, Foucault mengidentifikasi empat unitas strategis (strategic unities) yang selama ini digunakan untuk mereproduksi dan melipatgandakan diskursus tentang seksualitas: the psychiatrisation of perverse pleasure, the socialisation of procreative behaviour, the pedagogisation of children’s sex dan the hysterisation of women’s body. Ada satu strategi yang lain yang dikembangkan Foucault dalam karyanya yang lebih dulu, Herculine Barbin, yaitu diseminasi gagasan tentang keharusan manusia untuk hanya mempunyai satu identitas gender dan kelamin yang sejati-jelas (true mono-sexed human being). Lima teknik ini berasal dari kebutuhan kelas bojuis pada abad XIX untuk meningkatkan produktifitas tubuh (productivity of the body) dan keamanan spesies sosial (social species), yaitu penduduk.
                 Yang pertama, diseminasi gagasan tentang keharusan manusia yang hanya punya satu jenis kelamin atau seks yang jelas (true monosexed human being). Melalui ilmu kedokteran, hukum dan pengadilan ditegaskan bahwa “setiap orang harus mempunyai satu jenis kelamin yang jelas” (Foucault: 1988: viii). Bagaimana strategi ini bekerja dapat dilihat dalam drama tragis, dan perlakuan yang diterima Herculine Barbin, seorang hermaprodit Perancis pada abad XIX. Pada catatan hariannya, Barbin menulis bahwa pada kelahirannya ia diidentifikasi sebagai perempuan. Kendati demikian, setelah serangkaian pengakuan pada dokter dan pendeta, Barbin secara hukum diharuskan untuk merubah seksnya ke “laki-laki” karena karakter maskulin yang dimilikinya. Tertekan karena seksualitas dan jenis kelamin yang disyaratkan, akhirnya Barbin bunuh diri. Kasus Barbin ini menunjukkan bagaimana kedokteran, pengadilan dan hukum secara diam-diam menjadi ritus yang penting untuk ditemukannya manuasia mono-sexed dalam sejarah Barat modern. Bahwa manusia harus punya satu identitas seks dan gender yang jelas. Kalau punya anatomi laki-laki, maka harus maskulin. Dan bila punya anatomi perempuan ya harus feminin. Tidak boleh ada campur aduk keduanya. Tidak boleh ada identitas in-between. Bagi Foucault ini mengejutkan hermaprodit diharuskan mempunyai a sex, a single, true sex, karena selama berabad-abad, menurutnya, “telah ada kesepakatan bahwa yang namanya hermaprodit itu punya dua” (ibid, vii).
                  Kedua, sosialisasi perilaku prokreatif. Berlawanan dengan diskursus seksualitas Yunani dan Roma kuno, seksualitas Barat modern abad XIX, lebih diorientasikan pada tujuan-tujuan prokreatif, bukan kesenangan (pleasure). Foucault menyebut model demikian sebagai scientia sexualis, sedangkan seksualitas Roma kuno yang berorientasi pada pleasure atau aphrodisia disebutnya sebagai ars erotica. Tujuan scientia sexualis ini adalah untuk memaksimalkan kekuatan, efisiensi, ekonomi tubuh, hubungan konjugal perkawinan dan heteroseksualitas. Dan heteroseksualitaslah dalam kerangka ini dibabtis sebagai bentuk paling sah. Kesenangan seksualitas hanya dibingkai dalam sangkar emas heteronormativitas. Tidak hanya berhenti disini, pasangan dibebani dengan tanggungjawab sosial dan medis; yaitu melindungi keluarga dari penyakit-penyakit patogenik seksualitas. Setiap kegagalan dalam upaya ini dapat berakibat pada kehancuran tubuh sosial (social body), yaitu komunitas.
                 Ketiga, psikiatrisasi kesenangan. Strategi ini bekerja dengan mempatologikan semua bentuk penyimpangan dari prinsip-prinsip “seksualitas prokreatif yang normal”. Karena itulah sex for pleasures dikutuk. Onani, masturbasi, dan homoseksualitas yang sering menjadi sumber kesenangan erotis dianggap abnormal, menyimpang, dan perlu mendapat perawatan. Alasannya adalah karena praktek-praktek seksual nonprokreatif ini memperlemah tubuh dan menjadikannya rawan terhadap berbagai macam penyakit. Inilah bedanya seksualitas Barat modern dan Yunani kuno, dimana homoseksualisme, onanisme dan masturbasi tidak ditolak berdasar kategori “normal” atau “abnormal” (Foucault, 1986a: 45) melainkan berdasar kuantitasnya, yaitu tidak boleh kalau berlebihan.

Keempat, histerisasi tubuh perempuyan. Dalam strategi ini, tubuh feminin “dianalisa”, “diintegrasikan ke wilayah praktek medis karena penyakit yang melekat padanya”, dan akhirnya ditempatkan dalam “komunikasi organik dengan tubuh sosial.” Tentang hal ini, selangkapnya Foucault (1988: 104) menulis:
Tiga proses sekaligus melalui mana tubuh yang femini dianalisa—dikualifikasi dan didiskualifikasi—yang terstrukturkan dalam seksualitas; dimana ia terintegrasikan kedalam ruang praktek medis, dengan alasan patologi yang melekat padanya, dimana akhirnya ia ditempatkan dalam komunikasi organik dengan tubuh sosial (yang dimaksudkan untuk memastikan kualitasnya), ruang keluarga (yang menjadi elemen fungsional sekaligus substansional) dan kehidupan anak (yang dihasilkannya dan digaransinya atas dasar tanggung jawab biologis-moral yang tidak pernah berakhir selama pendidikan anak; ibu, dengan image negatif tentang perempuan cemas, yang membentuk histerisasi yang tampak jelas ini.
Foucault (1978) mengungkapkan bahwa konsep privacy, diri/self, dan berkembangnya erotisme merupakan bagian dari ciri pengalaman manusia moderen. Privacy mempunyai beberapa dimensi. Dimensi umum adalah memberikan ruang bagi individu untuk merealisasikan kegairahan-kegairahan subyektif sesuai dengan kebutuhannya sebagai manusia dewasa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perealisasian kegairahan-kegairahan seksual manusia dewasa dapat merugikan masyarakat. Karena persoalan seksual didefinisikan secara sosial.
Pada awal abad ke-17, konon, menurut Foucault, masih berlaku keterbukaan tertentu. Kegiatan seksual tidak ditutup-tutupi. Kata-kata dan hal-hal yang menyangkut seks tidak disamarkan. Namun keterbukaan semacam itu tidak berlangsung lama. Seksualitas kemudian dipingit rapi. Dirumahtanggakan.Suami istri menyitanya dan membenamkan seluruhnya dalam fungsi reproduksi yang hakiki. Orang tidak lagi berani bicara seks. Pasangan yang sah dan pemberi keturunan menentukan segalanya. Ia muncul sebagai model, mengutamakan norma, memegang kebenaran, mempunyai hak bicara dengan tetap memelihara asas kerahasiaan.
Kesimpulannya, kata Foucault, segala sesuatu yang tidak diatur untuk membangun keturunan dan yang tidak diidealkan berdasarkan tujuan yang sama, tidak lagi memiliki tempat yang sah dan juga tidak boleh bersuara; diusir, disangkal dan ditumpas sampai hanya kebungkaman yang tersisa. Sekitar abad ke-19, bidang hukum yang sebelumnya hanya mengurusi seksualitas yang 'melawan kodrat' mulai berubah dengan mulai munculnya peradilan untuk mengadili masalah kesusilaan warga. Maka pengaturan dan pengekangan terhadap seksualitas pun mulai dilakukan secara lebih sistematis; dan semua itu terus berlangsung hingga saat ini.
Michel Foucault, menyatakan, setelah ada keterbukaan telah terjadi represi modern atas seksualitas, dan represi itu terkait erat dengan kapitalisme. Kehadiran perempuan di sektor publik dalam sistem kapitalisme tidak sebatas pada kemampuan berpikir dan bertindak, melainkan juga dimanfaatkan sebagai obyek kepuasan. Oleh karena itu, membanjirnya kaum perempuan yang bekerja di sektor publik tidak dapat dengan serta-merta dijadikan indikator peningkatan peran atau status perempuan.
Pada tingkat pasar, misalnya, penggunaan tubuh perempuan untuk keperluan iklan barang-barang konsumtif, menunjukkan telah terjadi pergeseran seksualitas dan tubuh dari domain "privat" ke domain "publik"; dari yang sakral ke yang profan, bukan sekadar pergeseran fungsi reproduktif perempuan dari prokreasi ke rekreasi atau pergeseran dari ritual ke ekspresi identitas dan gaya hidup.
Michel Foucault membuat genealogi emosi dengan melakukan investigasi kritis tentang produksi seksualitas pada jaman modern. Foucault menunjukkan bagaimana wacana emosi dijadikan ranah bagai produksi "diri yang modern". Dalam volume kedua The History of Sexuality (1985) ia mengatakan bahwa dalam masyarakat Barat kontemporer, "ranah utama moralitas, bagian dari diri kita yang paling relevan bagi moralitas, adalah perasaan-perasaan kita". Perasaan bisa memainkan peranan ini karena ia dianggap sebagai pusat diri, pusat dari individualitas kita. Dengan genealogi-nya, Foucault memandang kekuasaan tidak akan mati, melainkan bermetamorfosis menjadi pendisiplinan. Kekuasaan masih dipandang sebagai prinsip realitas dan prinsip kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar