Dunia sastra di awal tahun 2000 hingga saat ini tidak hanya didominasi oleh perempuan muda yang kritis, cerdas dan penuh imajinasi dalam penulisan karya sastra. Era ini juga ditandai pula dengan tingginya apresiasi pembaca karya sastra yang dilahirkan oleh sejumlah penulis perempuan. Dapat dikatakan penulis perempuan saat ini tidak saja kaya kecerdasan dan imajinasi namun juga merajai pasar buku sastra di Indonesia.
Menurut Faruk (dalam Prosa 4, 2004: 120) Ayu Utami dalam Saman menggarap persoalan-persoalan publik seperti persoalan intelektual yang menyangkut filsafat yang tinggi-tinggi, persoalan politik ekonomi seperti relasi-relasi ekonomi di perkebunan-perkebunan Orde Baru, dan persoalan-persoalan NGO yang aktif di lapangan. Dewi Lestari dengan Supernova, Nova Riyanti Yusuf dengan Mahadewa Mahadewi, dan beberapa karya penulis perempuan lainnya memperlihatkan kecenderungan serupa.
Persoalan yang lebih kontroversial, yang ditampilkan oleh novelis-novelis perempuan mutakhir itu, dan yang masih termasuk dalam persoalan sensibilitas di atas, adalah persoalan penggambaran seksualitas dan aktivitas seksual. Sejarah sastra, termasuk novel modern awal, juga cenderung menjauhkan sastra dan wanita dari seks. Wanita cenderung dikonstruksikan sebagai tokoh dengan cinta kasih tulus, yang jauh dari konotasi seksualitas.
Penulis-penulis novel generasi Ayu justru memperlihatkan keberanian dalam penggambaran seksualitas dan aktivitas seksualitas itu. Seks di tangan mereka seolah-olah menjadi sebuah dunia tersendiri yang bisa terlepas sama sekali dari bingkai cinta seperti itu. Di tangan Nova seks menjadi persoalan fisik-biologis dengan mekanisme syaraf yang berdiri sendiri. Untuk membahas lebih lanjut tentang eksploitasi seksualitas dalam novel Mahadewa Mahadewi karya Nova Riyanti Yusuf, perlu kiranya didahului dengan deskripsi mengenai perempuan, seks, dan sastra berikut.
Seksualitas sebagai Konstruksi Sosial
Masalah seksualitas tidak lepas dari problema tubuh seperti dorongan seksual dan reproduksi. Menurut Ellis (dalam Smith, 1996:144) seksualitas laki-laki bersifat aktif dan sadis, sedangkan perempuan bersifat pasif dan masokis. Ia juga menganalogikan hubungan heteroseksual “normal” dengan hubungan binatang yang berpola laki-laki menaklukkan perempuan; brutalitas laki-laki dan penyerahan diri perempuan. Elllis juga menyebutkan bahwa perempuan menikmati saat diperkosa, dipukul, dan disiksa demi kenikmatan seksual.
Namun, pergerakan perempuan pada tahun 1960-an mulai menganalisa heteroseksualitas sebagai konstruksi sosial. Ia bukanlah sesuatu yang natural dalam hal orientasi seksual, melainkan institusi yang dikonstruksi secara politis. Andrianne Rich dalam Of Woman Born menyebutkan bahwa seksualitas didefinisikan dan dibentuk berdasarkan perspektif maskulin. Konstruksi sosial seksualitas bersifat patriarkis karena mengutamakan kepentingan laki-laki. Lebih jauh lagi MacKinnon menyebutkan seksualitas sebagai suatu bentuk kekuasaan yang terbentuk dari erotisasi penaklukkan (laki-laki) dan kekalahan (perempuan) (Jeffreys, dalam Richardson ed. 1996:77).
Mac Kinnon sependapat dengan beberapa feminis kontemporer lainnya, seperti Dworkin (1987) dan Hite (1987) bahwa heteroseksualitas dibentuk berdasarkan dominasi dan subordinasi, dan bahwa hubungan kekuasaan yang tidak seimbang ini dianggap erotis sehingga muncul istilah “the eroticization of power”.
Konsep hubungan berdasarkan dominasi laki-laki mengakar kuat dalam budaya masyarakat karena proses sosialisasi seseorang sejak dini. Oleh karena itu, sejak masih remaja mengenal seksualitas pun menjadi titik awal yang cukup penting yang menentukan cara pandangnya terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Mengenal seksualitas pada masa remaja memang identik dengan hal-hal remeh, seperti fantasi bertemu Pangeran atau cinta platonis. Akan tetapi, seksualitas sangat mudah memporak-porandakan kehidupan remaja saat terjadi kekersan seksual, maupun kesadaran yang salah tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Hal ini diperburuk dengan mitos tentang tabu dalam masyarakat yang semakin membentengi antara dunia remaja dan seksualitas.
Seksisme dan Pembebasan
Berbicara mengenai siapa sebenarnya yang menguasai tubuh perempuan, Gayle Rubin (dalam Tong, 1998:48-49), salah satu feminis libertarian-radikal, menganggap bahwa sistem gender menjadi sebuah kesatuan yang mengatur perubahan transformasi sosial dari seksualitas biologis menjadi produk aktivitas manusia. Misalnya, faktor kromosom, anatomi, dan hormon lalu direka menjadi seperangkat dari identitas “maskulin” dan “feminin”. Misalnya, laki-laki dikodratkan menjadi aktif dan agresif, sedangkan sebaliknya perempuan pasif dan pasrah atau menerima. Rekaan seperti ini tentu saja memiliki dampak di satu sisi, memberdayakan laki-laki namun sebaliknya, di sisi yang lain, tidak menguntungkan perempuan. Selama ini perilaku sosial budaya masyarakat selalu dikait-kaitkan dengan kodrat biologis atas dasar turunan dari rekaan tersebut.
Menurut Shulamith Firestone (1970:73) basis material dari ideologi politis yang membuat laki-laki menjadi dominan sementara perempuan menjadi pihak yang kalah berakar dari peran reproduksi kedua jenis kelamin ini. Dikatakannya bahwa pusat tertindasnya kaum perempuan ada di pola pengasuhan anak yang banyak dibebankan ke perempuan, sementara kewajiban ini berlaku lebih permisif bagi laki-laki. Atas dasar itu, ia menyimpulkan bahwa perubahan revolusioner bisa dimulai dengan menghapuskan standar ganda yang menguntungkan laki-laki. Salah satu caranya adalah dengan memberi tanggungjawab yang seimbang kepada ayah maupun ibu dalam mengasuh anak-anaknya.
Firestone juga menawarkan pembebasan personalitas bagi perempuan dan laki-laki lewat penolakan segala konstruksi sosial termasuk imperatif biologis dari prokreasi yang memenjarakan kedua jenis kelamin dalam kategori feminin atau maskulin. Hampir mirip dengan Kate Millet, Firestone memilih kategori ketiga yaitu androginis sebagai gabungan kedua kategori ini. Revolusi biologis yang diitawarkan Firestone dalam rangka menolak pembagian biologis yang menghasilkan dikotomi kecerobohan antara yang maskilun dan yang feminin.
Marlyn French (dalam Tong, 1998:54) menyatakan bahwa pembedaan atribut-atribut perempuan dan laki-laki lebih karena kodrat biologis ketimbang ciptaan budaya. Ia percaya bahwa seksisme adalah salah satu model dari isme-isme lain selain rasisme dan kelasisme. Menurutnya terdapat suatu jarak yang menjadikan jurang terbuka lebar antara manusia dan alam. Manusia menjadi teralienasi dari alamnya. Alienasi adalah keterpisahan. Keinginan manusia, dalam hal laki-laki, adalah tidak hanya menguasai alam tetapi juga perempuan dimana yang belakangan ini diasosiasikan juga dalam faktor reproduksi. Keinginan untuk menguasai alam/ perempuan melahirkan patriarki, sebuah sistem hierarkis yang nilai-nilainya berdasarkan ‘kekuasaan terhadap’.
Mary Daly mengidentifikasikan nilai-nilai maskulin tradisional sebagai sebuah ancaman bagi perempuan. Karena terminolog di bawah sifat-sifat feminin yang positif seperti cinta, kelembutan, memelihara dan berbagi, bisa dibelokkan oleh sistem patriarkhal menjadi kesalahan yang sering dilakukan. Sebuah contoh, konsep cinta adalah baik, namun tanpa disadari cinta dibawah struktur patriarkhal berubah wujud menjadi penyerahan diri secara total, Karenanya Mary Daly mengajak semua perempuan untuk mengatakan kata “tidak” pada moralitas pengorbanan (Tong, 1998:57). Tanpa itu dijalankan, akan mustahil perempuan mengakhiri ajang permainan laki-laki/ tuan dan perempuan/ budak. Hal ini justru akan menjadikan perempuan sebagai makhluk ciptaan laki-laki. Sebaliknya yang ditawarkan Daly pada perempuan adalah mengatakan “ya” pada etika diri. Dalam tahap ini perempuan berdiri sendiri dalam menanggapi tubuhnya, kebutuhan, keinginan, dan minat dirinya.
Akar dari penindasan kaum perempuan terkubur dalam sistem gender yang sangat patriarkis. Ia menyoroti seks sebagai alat politis karena relasi perempuan dan laki-laki menjadi paradigma seluruh relasi kekuasaan. Millet menyatakan bahwa di tiap relasi yang selalu dimenangkan adalah supremasi laki-laki. Sistem opresi yang berbasis kontrol laki-laki atas perempuan ini berlanjut pada pembentukan nilai-nilai, emosi, serta logika di tiap tahap penting kehidupan manusia. Perempuan baru bisa terbebas jika kontrol laki-laki di sektor kehidupan publik maupun domestik dihilangkan. Karena demikian kuatnya kontrol tersebut hingga merasuk dalam kehidupan akademi, religi, dan keluarga, dan hal ini kian melegitimasikan subordinasi perempuan. Akibat dari ini semua yang tereliminiasi dalam diri tiap perempuan adalah rasa inferioritas terhadap laki-laki (Millet, dalam Tong, 1998:49).
Seksualitas Perempuan, Teks yang Berbicara (Konsep SEXTS)
Wacana tentang hasrat (desire) perempuan dalam kurun waktu yang panjang kurang diangkat dalam tema seksualitas manusia pada umumnya. Dengan kata lain, secara stereotipikal hasrat seksual perempuan kurang diharapkan. Wacana seksualitas perempuan selama ini sering diposisikan sebagai instrument musik yang dimainkan oleh laki-laki (McCormick, 1994:177). Tema besar seksualitas manusia lebih diciptakan, diorganisir, dan diekspresikan oleh kepentingan hasrat seksual laki-laki dan kemudian dijadikan kanon. Hal ini dipercaya sebagai seksualitas perempuan yang sebenarnya. Seksualitas laki-lakilah yang menjadi ukuran untuk memahami atau mengapresiasi seksualitas perempuan. Oleh karenanya seksualitas perempuan ‘tak terkatakan’.
Seksualitas manusia cenderung merujuk pada pandangan esensial, yaitu “sesuatu yang bekerja secara natural yang hanya berkaitan dengan fungsi reproduksi. Seperti vagina yang hanya dipahami sebagai “organ tindakan seks” atau alat seks yang melakukan reproduksi. Seksualitas perempuan hanya dilihat sebagai “fenomena natural” yang universal dan tidak dapat diubah (Robinson, 1997:155). Padahal, seksualitas selalu berhubungan dengan konstruksi social, perasaan seksual manusia untuk menunjukkan identitas gendernya. Artinya bahwa seksualitas selalu dilatarbelakangi oleh kekuatan sejarah sosial masyarakat. Seksualitas tidak semata-mata biologi atau tubuh, tetapi kombinasi antara struktur anatomi dan psikologi (Humm, 2002:432).
Sigmund Freud mengatakan bahwa “anatomi adalah takdir”, dan perempuan ditakdirkan tidak akan pernah meraih harapan, keinginan dan hasrat apapun dalam hidupnya (Fromm, 2002:146). Menurut Freud, maskulinlah yang memiliki hasrat seksual sedangkan feminin cenderung memperoleh tekanan. Kemudian Freud menempatkannya pada dua oposisi, dimana seksualitas perempuan adalah pasif dan laki-laki adalah aktif. Ia menjuluki klitoral kelamin perempuan sebagai little penis dan tidak mampu melakukan masturbasi. “Memegang penis” menurut Freud adalah representasi insting penguasaan hasrat yang dikatakannya sebagai “make to masculine sexual activity”. Hal ini menyebabkan semua orang beranggapan laki-laki harus agresif dan wajar bila menjadikan perempuan sebagai objek seks (pemikiran ini melegitimasi laki-laki untuk melakukan perkosaan) (Mitchell, 1975:46).
Gagasan Freud dalam psikoanalisa berguna untuk diarahkan pada penelitian tentang representasi organisasi seksualitas perempuan, termasuk mendekonstruksi maskulinitas. Dengan demikian, seksualitas perempuan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang intrinsik tentang tubuh dan kenikmatan seksual perempuan. Gagasan ini pula yang mempengaruhi aliran feminis postmodern Perancis untuk melakukan kampanye tentang pentingnya menulis seksualitas perempuan ke dalam karya sastra. Gagasan mereka dikenal dengan sebutan SEXTS yaitu kombinasi antara Sex dan Text (Eagleton, 1987:206).
SEXTS adalah bahasa yang diciptakan feminis aliran postmodern Perancis untuk menunjukkan seks perempuan dalam karya sastra melalui metafora dan morfologi yang feminine (Eagleton, 1987:206). Menulis secara tidak disadari menjadi sesuatu yang diakari oleh tubuh laki-laki. Luce Irigaray membuat morfologi genital perempuan dengan istilah “pemilik dua bibir” yang diartikan sebagai suatu konstruksi aktif pengimajian tubuh perempuan yang lebih majemuk dan kaya daripada pengimajian tubuh laki-laki yang tunggal (Gatens, dalam Shildrick (ed), 1980:169). Di Indonesia, salah satu contoh morfologi feminin yang mengungkap seksualitas tubuh perempuan dalam teks sastra adalah sebagaimana yang ditampilkan Ayu Utami dalam Larung.
Teks dalam sastra yang mengungkap seksualitas perempuan berarti membantu perempuan untuk mengangkat kesadaran seksualitas dirinya. Melalui kesadaran diri ini, perempuan menemukan pengetahuan tentang hak atas tubuhnya, dan memahami bagaimana ia di tengah masyarakat yang didominasi laki-laki (Mac Kinnon, dalam Humm, 2002:418). SEXTS dalam sastra akan menunjukkan perempuan sebagai individu yang ditulis atas dirinya sendiri, dan bisa menyelesaikan persoalannya sendiri, termasuk perasaan tentang tubuhnya.
Oleh karena itu, perempuan yang menulis adalah perempuan yang melahirkan tulisan dan berangkat dari dirinya dan pengalamannya sebagai perempuan (penulisan feminin). Penulisan feminin akan mengubah kondisi sosial politik untuk menantang fondasi struktur patriarkal. Bahasa adalah struktur yang represif atas pikiran dan narasi yang digunakan dalam mengorganisir hidup. Dengan menulis, perempuan dapat keluar dari konstruksi laki-laki dan melakukan konstruksi baru bagi dirinya (Amiruddin, dalam Jurnal Perempuan, 2003: 95).
Penulisan feminin memiliki perbedaan dengan penulisan maskulin, yaitu tentang seksualitasnya yang kompleks, erotisasi pada area tubuhnya yang merupakan petualangan, bukan takdir. Sebagaimana seksualitasnya, penulisan feminin terbuka dan multiple, variatif dan berirama, penuh kenikmatan dan penuh dengan kemungkinan (Cixous, dalam Tong, 1998:199).
Kedekatan perempuan dengan tubuhnya dapat menjadi suatu sumber untuk menulis, dan membuatnya menjadi sebuah wacana sastra. Sastra seperti ini adalah sastra yang membebaskan perempuan ke dalam berbagai fungsi. Pertama, menjadikannya sebagai forum perempuan; kedua, mendorong terciptanya budaya androgini; ketiga, perempuan dapat membuat model aturannya sendiri; keempat dapat menyuarakan persaudaraan perempuan (sisterhood); dan kelima dapat mengungkap kesadaran perempuan (Gatens, dalam Shildrick (ed) 1980:42).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar